Scroll untuk baca artikel
Blog

Sejarah Petasan, Meski Berbahaya Tapi Sering Ada di Berbagai Perayaan

Redaksi
×

Sejarah Petasan, Meski Berbahaya Tapi Sering Ada di Berbagai Perayaan

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Ledakan dahsyat akibat petasan menghancurkan 25 rumah di Dusun Sadeng, Karangbendo, Ponggok, Kabupaten Blitar. Polisi menyebut ada 4 korban tewas akibat ledakan ini.

Dari hasil penyelidikan sementara, ledakan tersebut diduga berasal dari bubuk mercon yang disimpan oleh salah satu warga.

Kampung tersebut, kata dia, memang dikenal sebagai tempat meracik petasan untuk disiapkan menyambut bulan Ramadan.

Dari peristiwa ledakan itu ada empat orang ditemukan meninggal. Dengan rincian, satu korban laki-laki berhasil teridentifikasi diduga pemilik rumah sumber ledakan, sementara tiga lainnya belum.

Tradisi Petasan

Menyulut petasan seperti sudah menjadi tradisi yang terus dilakukan masyarakat dari tahun ke tahun. Tradisi seperti ini bukan sesuatu yang baru dan akhir-akhir ini saja terjadi.

Awal abad 20, Muhamad Radjab menceritakan kisah serupa dalam buku otobiografinya berjudul Semasa Kecil di Kampung (1950). Radjab menceritakan bagaimana di rumahnya yang dekat Danau Singkarak, petasan juga menjadi hal istimewa setiap Ramadan.

Anak-anak di sana tidak sabar menggunakan uang saku dari orang tuanya untuk membeli petasan dan membuat meriam betung, yang mana keduanya hanya dimainkan saat bulan puasa. Di awal Ramadan hanya ada sedikit penjual petasan, akan semakin banyak dijajakan seiring mendekatnya lebaran.

Padahal, petasan bukanlah alat permainan yang cukup aman untuk dimainkan terus-menerus, apalagi dalam jumlah banyak. Ledakan yang ditimbulkan petasan, berisiko menimbulkan luka bakar, melukai mata, hingga menyebabkan kebutaan. Selain itu, zat kimia yang terkandung di dalamnya juga bisa menyebabkan keracunan.

Risiko tersebut bisa dilihat dari banyaknya insiden yang disebabkan oleh petasan di Indonesia.

Sejarah Petasan

Petasan mulanya berasal dari China pada tahun 200 SM. Dulu petasan tidak menggunakan bubuk mesiu, hanya bambu yang dilempar ke api yang disebut baouzhu.

Saat itu, ledakan petasan untuk mengusir makhluk gunung bernama Nian yang setiap tahun mengganggu perayaan tahun baru.

Saat jaman penjajahan, pedagang China datang ke nusantara membawa dan memperkenalkan petasan.

Melalui tulisannya dalam Republika edisi 31 Desember 2017, sejarawan Alwi Shahab menuliskan bahwa dekatnya tradisi Tionghoa dengan masyarakat pribumi membuat petasan cepat diadaptasi ke dalam budaya Betawi. Bukan buat menakuti-nakuti setan, melainkan sebagai alat komunikasi antar kampung.

Namun, pada jaman itu VOC memberlakukan larangan adanya petasan terutama saat musim kemarau.

Larangan itu diterbitkan karena saat musim kemarau, barang-barang mudah terbakar. Selain itu, VOC tidak bisa membedakan perbedaan suara petasan dengan tembakan.

Larangan Petasan

Petasan bukanlah alat permainan yang cukup aman untuk dimainkan terus-menerus, apalagi dalam jumlah banyak. Ledakan yang ditimbulkan petasan, berisiko menimbulkan luka bakar, melukai mata, hingga menyebabkan kebutaan. Selain itu, zat kimia yang terkandung di dalamnya juga bisa menyebabkan keracunan.

Dengan banyaknya pemberitaan tentang efek samping petasan—dan tentu saja banyaknya keluhan tentang petasan—harusnya membuat banyak pihak lebih waspada.

Namun sayangnya, tetap saja petasan ini menjadi idola dalam setiap perayaan. Terbukti dengan tingginya permintaan dan tetap meningkatnya produksi petasan.

Risiko tersebut menjadi acuan pelarangan petasan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 12/DRT/1951 dan Pasal 187 KUHP yang melarang penggunaan, pembuatan, pendistribusian, dan penimbunan petasan.

Bagi pedagang petasan, kemungkinan dagangannya dirazia polisi terus menghantui, karena adanya larangan tersebut. [rif]