Mayoritas warga di Pulau Papagarang berprofesi sebagai nelayan, namun mereka harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yakni air bersih.
BARISAN.CO – Warga yang tinggal di Kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat masih kesulitan mendapatkan air minum bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
Melansir Victory News, Kepala Desa Papagarang, Kecamatan Komodo, Basyr pada Agustus silam mengatakan, warga di Pulau Papagarang untuk mendaparkan air bersih guna keperluan konsumsi perlu mengeluarkan biaya yang cukup besar.
Data Badan Pusat Statistik mengungkapkan, proporsi rumah tangga yang memiliki fasilitas cuci tangan dengan sabun dan air di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di tahun 2019 sebesar 51,92 persen, tahun 2020 meningkat menjadi 54,43 persen, dan tahun 2021 berjumlah 56,33 persen.
Selama tiga tahun terakhir sejak 2019, jumlah kenaikkannya tentu tidak signifikan. Sementara, Labuan Bajo masuk Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), namun itu tidak diimbangi dengan hak dasar warganya yakni air bersih.
Pada Sabtu (19/11/2022), Farid Gaban menuliskan melalui akun Facebooknya, warga di Pulau Papagarang tidak memiliki sumber air. Mereka harus membeli air yang didatangkan dari Labuan Bajo dengan menggunakan kapal yang memakan waktu dua jam perjalanan.
Para warga membayar Rp400.000 untuk satu tangki air dengan kapasitas 1.200 liter. Air itu kemudian digunakan untuk kebutuhan masak, cuci, dan mandi, yang habis dalam dua pekan bagi satu keluarga.
Mayoritas warga berprofesi sebagai nelayan itu harus mengeluarkan uang minimal Rp800.000 per bulan untuk air bersih.
Hak atas air merupakan hak setiap individu memperoleh air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap individu berhak mendapatkan air dalam jumlah yang cukup, kualitas yang aman, jarak dekat dengan sumber air dan harga yang terjangkau.
Melihat biaya yang perlu dikeluarkan tiap bulan bagi nelayan tentu amat berat. Sudah seharusnya negara menjalankan tugasnya guna memenuhi hak atas air tersebut.
Menanggap hal itu, ahli hidrologi, Yanto, Ph.D. menyampaikan, sesuai dengan UU No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air Pasal 6, disebutkan bahwa negara menjamin hak rakyat atas ai.r
“Negara menjamin hak rakyat atas air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, terjaga keberlangsungannya, dan terjangkau. Selain itu, pemenuhan kebutuhan pokok air sehari-hari (meliputi kebutuhan untuk air minum, memasak, mandi dsb) menempati prioritas tertingi di atas pertanian dan usaha sesuai Pasal 8 UU No. 17 tahun 2019,” katanya kepada Barisanco pada Senin (28/11/2022).
Oleh karena itu, Yanto berpendapat, pemerintah wajib menyediakan layanan air minum dengan harga yang terjangkau.
“Salah satu caranya adalah dengan memberikan subsidi jika pelayanan air minum membutuhkan biaya investasi dan operasional yang besar,” tuturnya.
Juli 2022, IDSurvey, yang merupakan Holding BUMN Jasa Survei memberikan bantuan Rumah Mesin SWRO (Sea Water Reverse Osmosis) lengkap dengan gensetnya. Sayangnya, Farid Gaban melanjutkan, warga diminta membiayai operasional dengan membeli air bersih yang dihasilkan sebesar Rp10.000/60 liter atau Rp200.000 untuk 1.200 liter.
Yanto mengapresiasi langkah pemerintah tersebut dengan memberikan investasi teknologi SWRO tersebut.
“Namun demikian, pemerintah tetap berkewajiban bahwa investasi tersebut dapat dipergunakan secara berkelanjutan. Operasional SWRO tentu menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah wajib menjamin rakyat di Pulau Papagarang mendapatkan air bersih dengan harga terjangkau dan berkesinambungan,” tambahnya.
Masih menurut Farid Gaban, sumber utama air di Labuan Bajo berasal dari hutan di perbukitan sekitarnya, ironisnya, sekitar 400 hektar hutan itu justru sedang digunduli untuk dijadikan kota baru untuk melayani investor.
Yanto menuturkan, perubahan tata guna lahan seperti dari hutan menjadi jalan atau permukiman harus didasarkan pada rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang berlaku di masing-masing wilayah. RTRW mestinya telah disusun dengan pertimbangan keseimbangan ekologis dan lingkungan.
“Selama perubahan tata guna lahan sesuai dengan RTRW, maka hal tersebut tidak melanggar peraturan. Selain itu, di setiap kegiatan yang melibatkan perubahan tata guna lahan, diwajibkan untuk mendapatkan ijin lingkungan dari pemerintah,” jelasnya.
Yanto melanjutkan, diperlukan kajian lingkungan yang memastikan perubahan tata guna lahan tersebut tidak membahayakan keselamatan lingkungan dan menjamin keberlangsungan ekosistem di daerah tersebut.
Sebuah laporan penelitian tahun 2016 di Amerika Serikat menyimpulkan, air bersih semakin mahal di kota-kota, dalam beberapa kasus, jauh lebih mahal daripada yang mampu dibeli oleh penduduk miskin untuk apa yang seharusnya menjadi hak asasi manusia.
“Labuan Bajo terletak di wilayah pulau yang secara rata-rata mendapatkan hujan dengan curah yang rendah dan beriklim kering. Pendayagunaan sumber daya air di daerah ini perlu dilakukan secara bijaksana,” sambung Yanto.
Dengan curah hujan yang rendah dan kemungkinan laju pemanfaatan air yang semakin tinggi, Yanto menilai potensi krisis air di daerah ini sangat besar.
“Apalagi saat ini pun, kebutuhan air untuk bermacam keperluan belum semuanya terpenuhi,” pungkasnya.