RENNE Descartes bilang, aku berpikir oleh sebab itu aku ada. Milan Kundera mengkritik filsafat ‘cogito ergo sum’ itu dengan kalimatnya yang terkenal: ketika manusia berpikir Tuhan tertawa.
Pengaruh dari kritik Kundera itu antaralain munculnya kritik model Rusia, mati ketawa. Buku Mati Ketawa Cara Rusia, dihimpun oleh Z Dolgopolova.
Mati ketawa pada hakikatnya kritik kontravita kritik, kritik terhadap kritik. Kritik telah mati, karena hanya permainan pikiran robotis dan hapalan, dan di situ tidak ada Tuhan — Tuhan pergi seraya tertawa, kata Kundera.
Kritik pun tidak lagi berdasar ‘rasa’ kemanusiaan, tapi sekadar hibuk pikiran yang berujung pada sekadar cemooh. Di Indonesia kecenderungan ini berkembang dengan pesat di dunia politik.
Tidak ada kritik dalam politik, kecuali cemooh kebencian. Maka di sini politik pun menjadi sekadar taktik. Taktik menghalalkan segala cara demi merebut kekuasaan politik dan ekonomi (oligarchy).
Di era politik kebudayaan Soekarno, dua seteru politik bisa menjadi sekutu. Karena kritik diletakkan pada konstruksinya, politik berjalan secara konstruktif.
Tak aneh meski berbeda ideologi, Sokarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, mereka tetap bersahabat. Sejak politik ekonomi Soeharto, konstruksi politik kebudayaan ini berubah menjadi politik ekonomi yang ujungnya kapitalisme-liberalisme.
Satu konstruksi yang dibangun orde baru hingga era reformasi. Oligarki pun menemukan lawan politik identitas, yang sebenarnya keduanya semu. Sebabnya, yang berlangsung adalah korupsi kolusi nepotisme (KKN).
Oligarki berlindung pada teriakan hukum sebagai panglima (ingat politik sebagai panglima ala PKI). Tapi ujungnya justru hukum tumpul ke atas runcing ke bawah. Tak lain karena KKN yang tidak terkendali dalam konstruksi politik ekonomi.
Mati ketawa mau mengembalikan kritik sebagai kritik, bukan sebagai cemooh kebencian. Pun saya kira tidak mengubah keadaan, selama politik ekonomi tidak dikembalikan ke politik kebudayaan khas Indonesia.***