Rakyat belum lupa dan tak akan pernah lupa, saat dalam kampanye pilpres 2014 dan 2019, Jokowi menghembuskan topan angin surga. Propaganda mengadakan mobil Esemka, membuka jutaan lapangan kerja, membatasi utang negara, menolak impor, menciptakan kesejahteraan buruh tani nelayan, kartu sehat, kartu cerdas, kartu sejahtera, dan se-gunung janji yang terlontar tanpa beban dan dosa. Semuanya alhamdulillah tak ada yang terealisasi, lain janjinya lain pula kenyataannya. Tanpa malu dan harga diri, malah bangga seolah-olah penuh prestasi.
Jokowi sebagai presiden sudah dianggap sebagai pemimpin yang terbiasa melanggar janji. Mulai dari janji kampanye hingga janji upaya-upaya kongkrit mengatasi pandemi, krisis dan kompleksitas permasalahan bangsa.
Selain tak terbukti menunaikan janji, Jokowi oleh mahasiswa, buruh tani nelayan, akademisi dan dunia usaha berbasis ekonomi kerakyatan serta hampir seluruh rakyat Indonesia, dijuluki “King Of Lip Service”. Ambisi dan orientasi kepentingan politiknya tak bisa lagi ditutupi kamuflase dan manipulasi.
Ditambah lagi tabiat Jokowi yang sering menggunakan tangan dan meminjam mulut orang lain, sering menjadikannya ahli membuat tameng dalam melindungi citra dan kepentingan politik tersembunyi. Apapun wacana dan kebijakan yang dianggap kontroversi dan mengancam eksistensi kekuasaan baik dalam tatanan usulan maupun yang sudah menjadi regulasi.
Selalu saja ada upaya mencari kambing hitam dan para pencuci piring kotor. Jokowi harus sesuai dengan identifikasi dan klasifikasi sebagai orang bersih meskipun dipenuhi kotoran dan dibentuk dari pencitraan semu. Tak bisa dicegah, Jokowi akhirnya dikenal publik lihai dan piawai menjadikan setiap orang atau kelompok tertentu menjadi korban ambisi kepentingan politiknya.
Mirisnya lagi, tidak hanya membersihkan tangan kotornya, Jokowi juga cekatan membangun kesan pahlawan dalam dirinya dari konflik yang merugikan kepentingan rakyat, keberadaan dan eksistensi NKRI, oleh perilaku kekuasaannya.
Episode dari drama penundaan pemilu, memperpanjang jabatan presiden dan berujung amandemen UUD 1945 terkait presiden 3 periode. Semakin membuktikan Jokowi menjadi sosok yang sudah tak pantas lagi menjadi pemimpin dan tak ada lagi yang bisa dipercaya dari mulut maupun tindakannya.
Jokowi tak ubahnya barang rongsokan yang betapapun dimodifikasi tetap tak berfungsi, apalagi sampai bisa bermanfaat. Kalaupun ada pemaksaan dan rekayasa apapun yang dilakukan, presiden boneka itu hanya akan menjadi kelinci percobaan yang mengalami eksperimen modifikasi disfungsi.
Jokowi yang meskipun telah didandani dengan kosmetik paling canggih dan berbiaya tinggi sekalipun. Tak akan pernah menjadi keindahan yang hakiki dan sejati. Pikirannya tak disertai batin, bahasanya terpisah dari jiwa dan tindakannya tanpa spiritual. Meminjam istilah Rocky Gerung, kedunguan tidak akan berubah hanya oleh karena harta dan jabatan. Begitupun kepintarannya tak akan bermakna dengan menjadi penghianat dan pelacur politik kekuasaan.
Ditengah deru bising mesin kebohongan kekuasaan dan produk-produk politik kemunafikan. Jokowi menjadi contoh kasus, sirkus dan akrobat politik tak selamanya menghibur dan pasti ada batas masanya. Begitupun pesona pencitraan akan memudar seiring kesadaran tak lagi melulu membutuhkan kecantikan dan keelokan. Bius sihir massal dalam diri Jokowi, perlahan mulai menipis. Jokowi tak mampu lagi menyembunyikan Watak asli yang semakin menyeruak. Setelah hampir 8 tahun berkuasa, Jokowi kini telah mati rasa dan mati gaya di hadapan rakyat, negara dan bangsa.