Mirisnya lagi, tidak hanya membersihkan tangan kotornya, Jokowi juga cekatan membangun kesan pahlawan dalam dirinya dari konflik yang merugikan kepentingan rakyat, keberadaan dan eksistensi NKRI, oleh perilaku kekuasaannya.
Episode dari drama penundaan pemilu, memperpanjang jabatan presiden dan berujung amandemen UUD 1945 terkait presiden 3 periode. Semakin membuktikan Jokowi menjadi sosok yang sudah tak pantas lagi menjadi pemimpin dan tak ada lagi yang bisa dipercaya dari mulut maupun tindakannya.
Jokowi tak ubahnya barang rongsokan yang betapapun dimodifikasi tetap tak berfungsi, apalagi sampai bisa bermanfaat. Kalaupun ada pemaksaan dan rekayasa apapun yang dilakukan, presiden boneka itu hanya akan menjadi kelinci percobaan yang mengalami eksperimen modifikasi disfungsi.
Jokowi yang meskipun telah didandani dengan kosmetik paling canggih dan berbiaya tinggi sekalipun. Tak akan pernah menjadi keindahan yang hakiki dan sejati. Pikirannya tak disertai batin, bahasanya terpisah dari jiwa dan tindakannya tanpa spiritual. Meminjam istilah Rocky Gerung, kedunguan tidak akan berubah hanya oleh karena harta dan jabatan. Begitupun kepintarannya tak akan bermakna dengan menjadi penghianat dan pelacur politik kekuasaan.
Ditengah deru bising mesin kebohongan kekuasaan dan produk-produk politik kemunafikan. Jokowi menjadi contoh kasus, sirkus dan akrobat politik tak selamanya menghibur dan pasti ada batas masanya. Begitupun pesona pencitraan akan memudar seiring kesadaran tak lagi melulu membutuhkan kecantikan dan keelokan. Bius sihir massal dalam diri Jokowi, perlahan mulai menipis. Jokowi tak mampu lagi menyembunyikan Watak asli yang semakin menyeruak. Setelah hampir 8 tahun berkuasa, Jokowi kini telah mati rasa dan mati gaya di hadapan rakyat, negara dan bangsa.
Mati rasa dan mati gaya yang pada akhirnya menjadi korban dan kebusukan dari sebuah citra. [Luk]