Selamatkan Masa Depan Jakarta, Moratorium Penghentian Betonisasi Sungai Yang Pengerjaan Sudah Berjalan 50%
Pengerjaan abnormalisasi sungai ini dimulai tahun 2013. Kemudian, terhenti sementara pada 2017 karena adanya pro dan kontra terhadap ‘betonisasi sungai vs naturalisasi sungai’ antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Namun, Institute Ciliwung menganggap hal itu pada akhirnya hanya menjadi gimik politik, tanpa ada hasil, meski proyek terhenti.
“Dari pengakuan BBWS, proyek abnormalisasi sungai ini, dari 19 km panjang sungai yang dikerjakan dari ruas Tb.Simatupang hingga pintu air Manggarai dan dari 33 km, kanan-kiri sungai sepanjang 16 km sudah dibeton. Ada sinyal bahwa proyek abnormalisasi sungai akan dilanjutkan oleh pemerintah pusat sebagai pemegang otoritas sungai yaitu Balai Besar Wilayah Sungai dibawah Kementerian Pekerjaan Umum,” papar Asun.
Ciliwung Institute sebagai warga konservasi sungai pada peringatan hari Sungai ke 10 pada 27 Juli 2021 mendeklarasikan Pembubaran Balai Besar Wilayah Sungai karena anggap sebagai bagian dari masalah dan persoalan penyelamatan sungai. Deklarasi tersebut sebagai upaya penyelamatan masa depan kota Jakarta.
“Ciliwung Institute memberikan mosi tidak percaya kepada Balai Besar Wilayah Sungai sebagai pemegang otoritas kebijakan tata kelola sungai di Indonesia. Ciliwung Institute menganggap bahwa lembaga BBWS telah dibubarkan dan tidak ada kerjasama dalam bentuk apapun dengan pihak yang telah dibubarkan,” jelas Asun.
Adapun Ciliwung Institute memberikan rekomendasi pembubaran BBWS sebagai berikut:
- Otoritas pengelolaan sungai dilimpahkan ke masing-masing pemerintah daerah dengan koordinasi forum stakeholder hulu hilir, beserta payung hukum pelimpahan otoritas sungai dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
- Audit tata ruang berbasis DAS, /water catchment area / watershed/ River Basin.
- Konsep Berbagi Ruang Jakarta sebagai pemerintah daerah hilir tidak bisa mengatur berapa banyak air yang turun dari hulu, yang bisa dilakukan adalah mengalokasikan wilayah-wilayah yang diadaptasi sebagai waduk rawa ataupun wilayah pasang surut air (parkir air), sempadan sungai, taman, ketika musim hujan menjadi tempat retensi air, ketika musim kemarau menjadi ruang publik atau taman. Jakarta tidak lagi memusuhi sungai tapi berbagi ruang dengan air.
- Memasukan isu Krisis Iklim dan Ketahanan Air pada Model Pembangunan, Cabut Dirjen Sumber Daya Air dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan bentuk Kemeterian Sumber Daya Air yang berkoordinasi dengan Kementerian Agraria/Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan dengan Pemerintah Daerah dan Forum Stakeholder DAS hulu-hilir.
- Buka Partispasi publik dalam tata kelola sungai dengan menghidupkan kembali pangkalan-pangkalan sungai sebagai akses kampung-kampung. [rif]