Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Me-reset Sekolah untuk Masa Depan Peserta Didik

Redaksi
×

Me-reset Sekolah untuk Masa Depan Peserta Didik

Sebarkan artikel ini

Kecenderungan campur aduk antara kepentingan politik, oligarki dan sistem pendidikan masih saya anggap latar belakang utama lemahnya pendidikan dan orientasi lembaga pendidikan (sekolah) sebagai ‘source of human capitals’ yang dibutuhkan bangsa pada persaingan global.

Kreatifitas lulusan pendidikan minim, kemampuan berpikir kritis kurang, literasi juga rendah dibanding negara berkembang lain. Jadi?

Kita harus me-reset   keberadaan sekolah dan tujuan pendidikan.

1. Sekolah harus disiapkan untuk mengatasi tantangan kehidupan nyata

Ketika para murid memahami tentang keadaan dan tanggungjawab menghadapi tantangan kehidupan nyata, mereka  akan berusaha menguasai berbagai hal sesuai kecerdasan dan minat mereka agar dapat menjalani masa belajar yang bermakna masa depannya.

Mereka belajar bukan sekedar untuk menghafal konten lama yang baku sebagai teori pengetahuan. Namun juga belajar beradaptasi dengan berbagai perubahan bersama perkembangan ilmu pengetahuan.

Sekolah menjadi laboratorium setiap anak belajar berbagai perubahan di lingkungan dan kehidupan global; perkembangan teknologi digital, akultutasi, serta disrupsi.

2. Ubah kultur  kompetisi kepada kolaborasi

Kegiatan pendidikan dan pengajaran sejatinya memfasilitasi setiap kemampuan anak untuk diasah, diarahkan, didukung, dan diproyeksikan tujuannya untuk berbagai proses yang kompleks berdasarkan tumbuh kembang, nilai-nilai, dan keterampilan yang dibutuhkan.

Budaya kompetisi dalam belajar, semisal menjadikan perolehan nilai dalam raport sebagai indikator prestasi, Indeks Prestasi Kumukatif sebagai  taruhan setiap lulusan, harus diganti dengan budaya kolaborasi untuk mencapai capaian yang baik dengan melakukan berbagai aktifitas akademik dan keterampilan hidup melalui simulasi tim kerja yang terorganisir dan mengadaptasi proses teamwork yang efektif.

3. Lakukan bentuk asesmen yang lebih inovatif

Alih-alih sekedar memilih  pilihan yang simpel, menjawab pertanyaan tertutup, mengisi uraian tertulis  berbasis konten standar, bentuk penilaian alternatif di sekolah memungkinkan anak-anak belajar dari pekerjaan mereka bukan hanya menerima nilai. 

Mereka menjalani proses asesmen yang sesuai dengan keadaan dan capaian mereka secara fleksibel. Mereka diminta membuat karya dari hasil pemahaman mereka akan rumusan pengetahuan secara kontekstual.

Hasil belajar diukur bukan menunjukkan kesimpulan akhir masa belajar, namun visualisasi kemampuan yang dapat dievaluasi dan diperbaiki agar dapat ditingkatkan dan dikembangkan secara komprehensif. Dari situ setiap kesalahan atau kegagalan adalah pelajaran berharga selanjutnya. Bukan justifikasi personal yang merendahkan.

4. Sekolah adalah “rumah kedua” yang melengkapi tumbuh kembang anak

Sebagai bagian unsur pendidikan, lembaga sekolah dihadirkan melengkapi kebutuhan dasar setiap anak laksana rumah kedua mereka. Sekolah harus hadir menjadi lembaga, tempat yang integratif dengan pola asuh orangtua.