Scroll untuk baca artikel
Blog

30 Desember, Mengenang dan Memahami Paradigma Pemikiran Gus Dur

Redaksi
×

30 Desember, Mengenang dan Memahami Paradigma Pemikiran Gus Dur

Sebarkan artikel ini

Latar belakang pondok pesantren penuh nilai-nilai cultural di mana ia mulai tumbuh dan berkembang juga mempengaruhi pemikirannya. Dalam konteks ini KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tidak sekedar menggunakan produk-produk pemikiran Islam tradisional sebagai hasil final tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi dalam kerangka pembuatan sintesis untuk melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab problem sosial aktual.

Di samping kehidupan pesantren, ia juga diperkenalkan dengan kelompok-kelompok sosial yang lebih luas. Pendidikan dunia Timur Tengah yang kosmopolitan terutama di Bagdad yang bercorak sekuler dan liberal secara langsung ikut mewarnai corak pemikirannya.

Meskipun secara formal ia tidak belajar di Barat, tetapi sejak muda ia terbiasa dengan pemikiran-pemikiran barat. Oleh karena itu ia lebih siap bergaul dengan wacana-wacana besar pemikiran barat dan keislaman, dan bahkan kedua sumber tersebut (Islam dan Barat) dikombinasikan secara kritis-dialektis sebagai basis yang kemudian membentuk pemikirannya.

Selain itu, ia juga aktif dalam berbagai LSM dan mudah bergaul dengan komunitas heterogen dari berbagai karakter budaya, etnis, dan agama dengan ideologi yang berbeda-beda dari yang konservatif, fundamental, liberal, sampai pada level sekuler sekalipun. Hal ini secara signifikan mempengaruhi pola pikir dalam melihat realita.

Sedangkan AS Hikam, seorang peneliti LIPI mengemukakan pola pemikiran Gus Dur pada dasarnya dapat dipahami sebagai produk dari tiga kepedulian ulama: pertama, rivitalisasi warisan Islam tradisonal ahlussunnah wal jama’ah yang komitmen atas kemanusiaan (insaniyah), antara lain adanya kepedulian yang kuat pada kerukunan sosial (social harmony) dan sikap inklusif yang ada dalam ajaram Islam.

Kedua, wacana modenitas yang didominasi pemikiran sekuler Barat dan semangat pencerahan (enlightenment). Gus Dur tetap mengacu pada paham ahlussunah wal jama’ah untuk menyikapi perkembangan modern dengan sikap terbuka dan kritis untuk mencari titik temu antara keduanya.

Modernitas tidak disikapi dengan kronfontatif tidak seperti apa yang dilakukan banyak cendikiawan Islam, tetapi secara akomodatif guna menemukan titik temu yang bermanfaat memecahkan masalah umat, tanpa harus meningalkan Islam tradisional.

Ketiga, Gus Dur selalu berusaha pencarian jawaban atas tantangan yang dihadapi umat Islam bangsa Indonesia di tengah perubahan yang amat cepat dari proses globaliasi dan modernisasi.

Lantas, Greg Barton, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi memasukkan Gus Dur sebagai Neo-modernis Islam. Neo Modernis Islam merupakan gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Bahkan aliran ini kritis terhadap dampak modernitas dan tidak melihat Barat sebagai ancaman bagi dunia Islam namun antara keduanya saling mengisi.