Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Memayu Ego

Redaksi
×

Memayu Ego

Sebarkan artikel ini

Selanjutnya, sang utama itu tidak begitu terpengaruh oleh kenyamanan yang disuguhkan dunia, lantaran telah menggenggam cita-cita yang lebih agung untuk diwujudkan. Ia jadi penaka Tuhan, sahabat Tuhan. Ia rekan Tuhan untuk mengubah situasi, “Sungguh, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka sendiri mengubah diri.” (Ar-Ra’d: 11).

Nyatalah, khudi itu mengenai diri dan mewujudkan diri. Diri yang menjadi tangan dan lidah Tuhan. Diri yang tampak terbatas, tapi sesungguhnya berpotensi tak terbatas. “Bangun pribadimu sedemikian hebat, sehingga sebelum Tuhan menentukan takdir bagimu, Dia bermusyawarah apa kehendakmu sebenarnya.”

Begitulah, Muhammad Iqbal menjentik telinga saya. Ia menggugah bahwa tidak zamannya lagi umat mabuk “agama”. Tanda kutip saya maksudkan, betapa kita gampang pasrah, termasuk pasrah kepada pemahaman jumut atas ritual agama. Kepada dogma-dogma yang memenjara akal rasional. Kepada perasaan yang mengagungkan takdir.

Bahkan dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal tegas mengkritik pemikiran religius Islam, selama 500 tahun, berjalan di tempat. Berbeda dengan Eropa yang telah memikirkan masalah-masalah besar, tentang kemajuan dunia, tetapi umat Islam malah terpuruk dan menjatuhkan diri kepada paham panteisme, peniadaan diri. Ego ini sejatinya rekan kerja Tuhan, sebagai wakil-Nya, bukan malah meniadakan diri dalam diri Tuhan.

Alhasil, memupuk individualitas bagi Iqbal merupakan tujuan tertinggi dari segala usaha baik pendidikan maupun usaha kegiatan sosial lainnya. Singkatnya, memayu hayuning sarira, memayu ego. [Luk]