IWAN Simatupang adalah sastrawan modern yang pernah dimiliki Indonesia. Sekaligus sastawan misterius.
Karya-karyanya terutama novel sangat terkenal seperti Merahnya Merah (Gunung Agung, 1968), Ziarah (Djambatan, 1969), Kering (Gunung Agung, 1972), Kooong (Pustaka Jaya, 1975).
Merahnya Merah memenangi Hadiah Nasional 1970 dan Ziarah meraih hadiah Roman Terbaik ASEAN tahun 1977.
Iwan yang sangat taat mempraktikkan filsafat eksistensialisme dalam karya-karyanya juga dikenal sebagai penulis puisi, cerpen, esai, dan drama.
Sayangnya, Iwan yang meninggal dalam usia produktif bukan termasuk sastrawan yang rajin mendokumentasikan karya-karyanya, termasuk esainya yang banyak menghiasi majalah-majalah kebudayaan seperti Zenith (1951-1954), Kisah (1953-1957) Mimbar Indonesia, Siasat, dan Sastra (1961-1964).
Untungnya ada teman Iwan yang belakangan dikenal sebagai Paus Sastra Indonesia, H.B. Jasin, yang rajin mengumpulkan tulisan para sastrawan.
Berkat usaha Jasin itulah esai-esai Iwan terselamatkan. Atas inisiatif Oyon Sofyan dan Frans M. Parera selanjutnya esai-esai yang nyaris menjadi fosil di Pusat Dokumentasi H.B. Jasin kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air (Esai-Esai Iwan Simatupang) terbit tahun 2004.
Dari segi waktu, esai-esai ini memang telah usang. Namun, bila disimak lebih dalam, esai-esai ini menyimpan persoalan yang relevan dan aktual. Bahkan, beberapa tulisannya menyimpan proyeksi ke depan tentang situasi kesenian Indonesia modern.
Selain menampilkan keresahan Iwan, kumpulan esai ini juga menggambarkan perjalanan pemikiran, kreativitas, dan latar belakang Iwan Simatupang yang kompleks.
Untuk memudahkan melihat kedalaman berpikir Iwan, editor buku ini membagi esai ke dalam Periode Penulis Artikel dan Guru Bahasa SMU (1950-1955), Periode Penulis Drama dan Mahasiswa Humaniora di Negeri-negeri Barat (1955-1959), dan Periode Penulis Novel, Surat Politik dan Reporter Media Massa (1960-1970).
Pada 1986 LP3ES juga menerbitkan surat-surat politik Iwan Simatupang yang bertitel Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966.
Surat-surat politik itu didokumentasikan dengan baik oleh seniman lokal dari Yogyakarta, B. Soelarto. Iwan dan Soelarto saling berkirim surat berkaitan dengan situasi politik dan iklim kerja sastrawan dan budayawan menjelang dan sesudah PKI memberontak yang kedua kalinya dalam masa sesudah merdeka.
Sayangnya, surat-surat balasan dari B. Soelarto tak diketahui rimbanya karena Iwan memang diciptakan bukan untuk menjadi dokumentator yang baik.
Seperti dalam surat-surat politiknya, dalam buku kumpulan esainya juga, Iwan membuat dua tulisan yang mengungkapkan keresahanya tentang situasi politik pada saat Demokrasi Terpimpin Soekarno.
Dalam salah satu suratnya, Iwan yang saat itu sebagai seniman independen mengeluhkan soal kesewenang-wenangan para sastrawan yang tergabung dalam Lekra dengan Partai Komunis-nya.
Seniman yang tidak terlibat di Lekra secara sistematis disingkirkan, tulisannya tak bisa dimuat, dan bahkan diteror. Iwan termasuk seniman yang diteror oleh anggota Lekra.
Begitu dahsyatnya teror pada Iwan tergambar dalam dua esainya masing-masing berjudul “Manusia-souterrain” dan “Kalau Demagogi dan Agitasi Dibawa Serta”.
Iwan berpolemik dalam media cetak dengan seseorang berinisial HS yang menyerangnya lewat majalah budaya Jaman Baru milik Lekra.
Mungkin sampai akhir hayatnya Iwan tak mengetahui nama asli di balik inisial itu. Iwan adalah sastrawan yang mewakili paradigma postmodernisme dan menganut civil society internasional. Dalam pandangan Iwan, penyakit kebudayaan seperti etatisme, liberalisme, dan individualisme dapat diselesaikan atau disembuhkan melalui pertolongan orang luar (di antaranya sastrawan–penulis) secara proporsional, sistematis, dan universal.