Seperti dalam surat-surat politiknya, dalam buku kumpulan esainya juga, Iwan membuat dua tulisan yang mengungkapkan keresahanya tentang situasi politik pada saat Demokrasi Terpimpin Soekarno.
Dalam salah satu suratnya, Iwan yang saat itu sebagai seniman independen mengeluhkan soal kesewenang-wenangan para sastrawan yang tergabung dalam Lekra dengan Partai Komunis-nya.
Seniman yang tidak terlibat di Lekra secara sistematis disingkirkan, tulisannya tak bisa dimuat, dan bahkan diteror. Iwan termasuk seniman yang diteror oleh anggota Lekra.
Begitu dahsyatnya teror pada Iwan tergambar dalam dua esainya masing-masing berjudul “Manusia-souterrain” dan “Kalau Demagogi dan Agitasi Dibawa Serta”.
Iwan berpolemik dalam media cetak dengan seseorang berinisial HS yang menyerangnya lewat majalah budaya Jaman Baru milik Lekra.
Mungkin sampai akhir hayatnya Iwan tak mengetahui nama asli di balik inisial itu. Iwan adalah sastrawan yang mewakili paradigma postmodernisme dan menganut civil society internasional. Dalam pandangan Iwan, penyakit kebudayaan seperti etatisme, liberalisme, dan individualisme dapat diselesaikan atau disembuhkan melalui pertolongan orang luar (di antaranya sastrawan–penulis) secara proporsional, sistematis, dan universal.
Esai-esai Iwan yang visioner ini bisa menjadi inspirasi dalam mengembangkan budaya, kesenian,dan kesusastaan Indonesia.
Sayangnya, editor buku ini tidak menerjemahkan beberapa istilah dan kata asing terutama dari bahasa Belanda dan Prancis yang bertaburan di hampir setiap halaman buku ini.
Maklum, Iwan banyak menggunakan istilah asing ini karena pernah sekolah Antroplogi di Belanda dan Filsafat di Prancis. Kendati demikian, ‘cacat’ itu hanya bagian kecil saja dari nilai buku yang sangat besar. Tidak salah dan tidak berdosa bila sastrawan, budayawan, akademisi, mahasiswa, peminat buku, dan khalayak umum membaca buku ini.
Buku lama tapi tidak basi melewati zaman. [rif]