Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Memberi Makan Ruh

Redaksi
×

Memberi Makan Ruh

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Rezeki sudah ditanggung. Benarkah? Nyata-nyata di tengah keseharian, orang-orang masih harus berjibaku mengumpulkan pundi rezeki. Kendaraan-kendaraan memadati jalan raya, berangkat pagi dan pulang petang, menyemut bak berebut rezeki.

Salahkah mereka? Dan, kenapa pula, hikmah Syekh Ibnu ‘Athaillah justru seakan meminggirkan perlunya mencari rezeki?

Hikmah yang dimaksud, “Kesungguhanmu untuk mengejar sesuatu yang telah dijamin pasti untukmu dan kelalaianmu dari menekuni apa yang menjadi tanggungjawabmu, adalah bukti atas rabunnya mata hatimu.”

Para ulama mensyarahi “sesuatu yang telah dijamin pasti” itu adalah rezeki. Sedang “apa yang menjadi tanggungjawabmu” adalah pengabdian beribadah kepada Allah. Dan, dari ungkapan tersebut, seakan kedua hal itu dipertentangkan. Lagi-lagi, benarkah?

Kiai Maftuh Bastul Birri menuturkan, kita tidak usah menyibukkan diri. Kita mesti berhenti memikirkan usaha, kita serahkan kepada Dzat yang Maha Mengatur. Persisnya, Kiai dari Lirboyo itu menerjemahkan matan Syekh Ibnu ‘Athaillah menjadi, “Enakkan jiwamu dari memikir usaha duniawi mencari rezeki (tidak usah menyibukkan diri), karena sesuatu yang telah dikerjakan Allah, kamu tidak usah ikut mengerjakannya.”

Kiai Maftuh meneguhkan kita, Allah telah menanggung dan memberesi rezeki kita. Tinggal kemudian, kita kosongkan hati dari itu, untuk fokus menjalankan kewajiban ibadah dan amal-amal yang dituntut Allah lainnya. Jadi, ada sisi di mana Allah menjamin kita, dan satu sisi lainnya Allah menuntut kita.

Dan memang sudah sewajarnya, kita lebih mencurahkan segenap usaha dan pikiran untuk menjalankan tugas yang dibebankan kepada kita. Kita juga semestinya tenang secara pikiran karena jaminan yang diberikan Allah. Namun, sungguh malang, yang terjadi sebaliknya, sebagaimana kita saksikan jelas di depan mata kita, lazimnya orang justru bersemangat bekerja keras mengejar dunia, dan begitu ringan berpaling dari tugas yang dituntut.

Jelas, hal itu menunjukkan ketidakpercayaan manusia akan janji Allah, akan jaminan yang diberikan oleh-Nya. Syekh Ibnu ‘Athaillah mengemukakan sebagai kebodohan yang mendominasi hati dan pikiran manusia, “bukti atas rabunnya mata hatimu.”

Sehingga, ngeri akhirnya kala merenung penggalan ayat, “Tetapi banyak (manusia) yang pantas mendapatkan azab.” (al-Hajj: 18).  

Betapa kita acap bukan bertambah serius menjalani kewajiban mengabdi. Tidak semakin tunduk, tapi malah lari dari perintah, malah bangga saat bisa memberontak dari ketetapan-ketetapan-Nya.

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (az-Zariyat: 56-58).

Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya ….” (Hud: 61).

Jadi, sesungguhnya jalan yang telah ditetapkan-Nya, pertama, mempraktikkan penghambaan kepada Allah sebagaimana rukun Islam. Kedua, memakmurkan bumi, secara materiil maupun peradaban, yang mendatangkan kebahagiaan manusia, baik individu maupun masyarakat, menyebarkan cinta dan kasih sayang, dan seterusnya.

Sehingga, sekali lagi kalau kita renungkan, betapa zalim kita yang malahan sibuk menghabiskan waktu yang 24 jam ini, hanya untuk mengatur dan mengurusi perkara yang sudah dijamin Allah. Kita berpaling dan mengabaikan untuk menunaikan segala yang dituntut berupa amal wajib maupun amal sunah.

Perintahkan kepada keluargamu untuk mendirikan salat dan sabar melaksanakannya. Kami tidak akan meminta rezeki darimu, bahkan Kami yang memberi rezeki kepadamu.” (Thaha: 132).