Scroll untuk baca artikel
Blog

Menata Hati

Redaksi
×

Menata Hati

Sebarkan artikel ini

Cinta yang berumah di hati, dan selazim rumah si penghuni mesti menata hati. Jadi betapa egoisnya sang cinta.

KONON puncak kebahagiaan adalah rasa cinta. Tapi pada kasunyatannya, acap terjadi cinta membawa bencana. Cinta menjelma senjata penusuk sampai ke ulu hati. Si korban menjadi gila, atau bahkan bunuh diri. Hingga muncul film, “Ada Apa Dengan Cinta”.

Apa ada yang salah dengan kata cinta.

Cinta yang berumah di hati, dan selazim rumah si penghuni mesti menata hati.

Dalam satu monolog saya, saya bertesis. Kalimat ‘i love you’ sebenarnya pada praktiknya, ‘i love me’: “aku mencintaiku oleh sebab itu aku membutuhkanmu, agar aku bisa mencintai diriku sendiri.”

Jadi, betapa egoisnya sang cinta.

Oleh liberalisme kuasa cinta itulah, penderitaan ‘rakyat rasa’ meraya ke seluruh sektor kehidupan manusia.

Masih dalam monolog saya, ibarat pemimpin dalam ‘tubuh negara’, mencintai ‘rakyat rasa’ mestinya berbasis kedaulatan dan kebijaksanaan. Bagaimana pemimpin mesti menomor-duakan kepentingan dirinya dan menomorsatukan kagunan rakyat. Tapi adakah ciri-cita pemimpin seperti itu.

Betapa cinta sebenarnya tidak ada. Sebab bagi para sufi barangkali cinta hanya penghalus nafsu. Semacam budaya tanding, manakala manusia menyadari watak napsu kebinatangannya. Watak kebinatangan yang penuh kebencian dan angkara murka.

Sifat vuil tiada batas yang dibungkus dengan political wisdom.

Adakah seseorang, yang galib menomor-duakan dirinya, dan real menomor-satukan pasangannya.

Pada gilirannya saya menawarkan satu diktum, bagaimana kalau kata cinta diganti kata hormat. Rasa-rasa di balik kata hormat, ada muatan ciri-cita kepemimpinan diri itu. Ada penghormatan terhadap rakyat, ada tanggungjawab mengemban amanat rakyat.

Ada tanggungjawab plus kasih-sayang terhadap pasangan, agar lahir anak kebahagiaan.

Ingat sesanti Kebahagiaan: kebahagiaan adalah buah yang dipetik dari pohon tanggungjawab.

Atau merespon teori Renne Descartes ‘cogito ergo sum’: aku menghormatimu oleh sebab itu aku bahagia.

Tapi tampaknya, kata hormat telah menjadi milik tentara atau upacara kenegaraan.

Jangan-jangan kita akan terbawa saat mau ‘maljum‘ bersama istri: kepada ‘ibu pertiwi’ hormaat..graak!

O, sungguh repot menjadi manusia. Betapa sulitnya menata hati.

Baiklah, mari kita mulai dengan kalimat sederhana ini. “Aku menghormatimu, sayangku…”

Dimulai dari Pemimpin: Aku menghormatimu, rakyatku.***