Padahal, tentang outcome dan impact nyaris tidak pernah dikomunikasi secara jelas kepada publik. Bahkan tampak samar jika dicermati dalam berbagai dokumen seperti Nota Keuangan dan dokumen lebih terinci berikutnya. Evaluasi kebijakan tentang aspek ini pun jarang dilakukan.
Pengamatan umum atas belanja dengan pendekatan nilai input pun sebenarnya telah memberi gambaran yang kurang mendukung atas narasi dan fokus kebijakan. Sebagai contoh dalam hal rincian berupa Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan Belanja Non K/L. Keduanya memang sama-sama menurun, namun belanja Non K/L telah melampaui Belanja K/L. Selama era reformasi, hal demikian baru terjadi pada outlook 2022 dan RAPBN 2023.
Dikaitkan dengan tema “Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”, cukup jelas bahwa belanja K/L yang berpotensi lebih mendukung. Sedangkan Belanja Non K/L memiliki kaitan yang lebih lemah atau bersifat tidak langsung. Belanja Non K/L antara lain berupa pembayaran bunga utang, subsidi dan belanja lain-lain. dengan tema RAPBN 2023 yaitu,
Contoh yang menggambarkan lebih jelas adalah jenis belanja “pembayaran bunga utang” yang direncanakan naik menjadi Rp441,40 trilyun dalam RAPBN 2023. Padahal total belanja menurun. Porsinya pun mencapai 14,51% dari total Belanja Negara. Merupakan porsi tertinggi sejak tahun 2005.
Sementara itu, jenis “belanja modal” direncanakan turun menjadi Rp199,12 trilyun. Porsinya hanya 6,55% dari total Belanja Negara. Merupakan porsi terendah sejak tahun 2006. Padahal, jenis belanja ini yang mestinya mendukung topik RAPBN 2023.
Pencermatan lebih dalam atas berbagai aspek detil dari belanja dalam RAPBN 2023 diperlukan untuk memberi asesmen yang lebih baik dan lengkap. Namun beberapa yang diuraikan di atas, membuat penulis berpandangan belanja negara tidak atau kurang mencerminkan tema serta fokus kebijakan RAPBN 2023. [rif]