Barisan.co – Ketua Pembina Institut Harkat Negeri Muhammad Said Didu menyebut masih banyak persoalan dalam sektor pertanian. Disampaikannya, mulai dari soal data saja, selalu ada perbedaan data antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, maupun Badan Pusat Statistik.
Hal itu dikatakan Said Didu dalam Mimbar Virtual barisan.co bertema ketahanan pangan, Selasa (25/08/2020). Menurutnya, data semestinya dapat disebutkan tanpa membuat masyarakat bingung dan was-was.
Beberapa waktu lalu, misalnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan produksi padi tahun 2020 surplus 6 juta ton. Angka 6 juta ton itu, adalah sisa dari produksi sebesar 21 juta ton, dikurangi konsumsi beras nasional sebesar 15 juta ton.
Banyak pihak, termasuk Said Didu, meragukan angka tersebut bisa ditelan secara baik.
“Menteri mengatakan akan produksi 21 juta ton dan konsumsi 15 juta ton, sehingga masih surplus 6 juta ton. Itu menteri yang bicara. Padahal, dari dulu konsumsi beras tidak pernah kurang dari 29 juta ton, atau setara 114 kilogram per kapita per tahun,” ujar Said Didu.
Dalam pada itu, pernyataan Menteri SYL tentang surplus beras jelas mengherankan. Ada bias optimisme yang membuat persoalan tampak ‘rampung’. Ada fantasi yang membuat kita merasa sudah mencapainya dan boleh bersantai.
Padahal, di balik pernyataan membingungkan tersebut, tersembunyi sejumlah kekhawatiran tentang ketahanan pangan. Banyak orang kini mulai berhitung, sejauh mana pangan kita dapat bertahan di tengah ancaman krisis?
Sebetulnya, potensi persoalan pangan, utamanya beras, telah diperhatikan oleh Presiden Joko Widodo sejak beberapa bulan lalu. Itu sekaligus respons terhadap peringatan FAO. Namun, kebijakan-kebijakan yang datang kemudian terasa miring. Mengangkat Menteri Pertahanan sebagai leading sector cetak sawah di Kalimantan? Konsep dan lembaga pertanian seolah tidak lebih ahli daripada ketentaraan.
Dimulai dengan pengelompokan
Pemerintah jelas memiliki tanggung jawab menjaga stabilitas dan ketersediaan pangan yang aman. Hanya saja, bahkan sejak dulu, pemerintah selalu kesulitan dalam melakukan pemilahan-pemilahan prioritas pertanian, yang secara sederhana dapat dibagi tiga kelompok.
Tiga kelompok itu, menurut Said Didu, adalah: 1) Komoditas ketahanan nasional; 2) Komoditas sumber penghidupan rakyat banyak; 3) Komoditas sumber pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.
“Untuk komoditas pertama, ketahanan nasional, berapapun biayanya harus disiapkan oleh negara. Beras, gula, jagung, sembilan bahan pokok, dan lainnya. Posisinya sama dengan membiayai tentara. Tentara itu belum tentu perang, tapi kita harus punya alutsista kapal selam dan pesawat tempur yang, meski harganya triliunan dan belum tentu dipakai, negara harus memilikinya demi ketahanan nasional,” kata Said Didu, yang juga menjadi anggota Dewan Pembina Barisan Nusantara.
Komoditas kedua, untuk rakyat banyak, seperti: peternakan, unggas, holtikultura, itu harus dilindungi oleh negara. Di poin ini, jangan sampai perusahaan-perusahaan besar masuk dan mematikan pengusaha-pengusaha kecil.
Lalu komoditas ketiga, komoditas untuk pertumbuhan ekonomi, adalah seperti kelapa sawit, karet, lada, dan kopi. “Itu kebijakannya betul-betul berbasis pada ekonomi. Maka hukum persaingan ekonomi dapat berlaku,” ujar Said Didu.
Kalau pemerintah beneran mau menjadikan pertanian sebagai penyelamat perekonomian selama pandemi, semestinya pengelompokkan ini dapat dilakukan secara tegas. Terlebih, ujung dari pengelompokkan ini adalah kesejahteraan petani, yang mana itu paralel dengan upaya pemberantasan kemiskinan: separuh jumlah orang miskin di Indonesia adalah petani.