Scroll untuk baca artikel
Terkini

Mengapa Cukai Rokok Naik, Tetapi Konsumsi Tidak Kunjung Turun?

Redaksi
×

Mengapa Cukai Rokok Naik, Tetapi Konsumsi Tidak Kunjung Turun?

Sebarkan artikel ini

Untuk mengendalikan konsumsi rokok, tidak bisa hanya fokus pada kenaikan cukai.Vid Adrison, Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI

BARISAN.CO – Pada tahun 2021, Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SEACTA) menerbitkan laporan regional tentang proyeksi hilangnya pendapatan di ASEAN yang menunda reformasi aturan pajak tembakaunya.

Dari laporan itu, lima negara ASEAN, yakni Kamboja, Indonesia, Myanmar, Vietnam, dan Laos kehilangan pendapatan riil sebesar US$4,812 miliar. Proporsi yang paling besar berasal dari Indonesia dengan kerugian pendapatan simulasi senilai US$3,48 miliar antara tahun 2020 hingga 2021.

Cukai tembakau terbukti menjadi pengendalian tembakau yang sangat ekfektif, namun skema aturan di Indonesia dianggap rumit dan berjenjang. Hal ini menimbulkan kritik karena menghambat kemajuan pengendalian tembakau.

Laporan berjudul, “Lost Rupiahs A Study on Delayes Implementation of Optimal Tax Policy in Indonesia” menyebut, delapan layer skema cukai dapat dimanfaatkan oleh perusahaan tembakau untuk mengurangi pembayaran pajak bahkan kesempatan menghindari pembayaran pajak.

Kelemahan lainnya dari aturan cukai tembakau di Indonesia adalah harga eceran standar dan pajak tertentu tidak ditinjau sistematis.

Tahun 2018, rencananya secara bertahap skema berjenjang itu akan diubah, namun tidak terjadi.

Laporan itu juga menggambarkan, berapa banyak dana dan nyawa yang bisa diselamatkan jika tarif cukai tembakau dinaikkan dan aturan cukai tembakau disederhanakan menjadi dua tingkat.

Berdasarkan simulasi SEACTA, Indonesia kemungkinan menelan kerugian antara Rp89,06-Rp108,4 triliun jika tidak menaikkan cukai tembakau dan tidak menyederhanakan struktur cukai. Simulasi itu dihitung dari pemungutan cukai tembakau yang dilaporkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebesar Rp188,8 triliun pada tahun 2021.

Penyederhanaan skema cukai ditambah tarif cukai yang lebih tinggi lebih efektif dalam meningkatkan pendapatan dan mengurangi penggunaan tembakau serta dampak negatifnya.

Peningkatan cukai dan penyederhanaan skema cukai tembakau bisa menjadi win-win solution dalam meningkatkan administrasi dan tata kelola perpajakan masyakat. Reformasi seperti itu di Filipina membantu mengatasi hambatan politik yang mencegah membebani asuransi kesehatan dan mengurangi penyakit terkait tembakau.

Alasan Cukai Rokok Naik Gagal Mengendalikan Konsumsi

Vid Adrison, Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI menyampaikan, tidak bisa hanya fokus pada kenaikan cukai.

“Saya selalu mengatakan tidak bisa hanya cukai saja. Dalam beberapa kasus, cukai naik, tapi harga eceran minimum yang diatur PMK tidak berubah. Kalau tidak salah, terakhir tahun 2021, cukai naik, tapi HJE minimum tidak berubah,” ungkapnya dalam Diskusi Publik dan Peluncuran Hasil Riset Ilusi Kemiskinan dan Pengalihan Belanja Rumah Tangga karena Konsumsi Rokok pada Selasa (30/8/2022).

Dia menjelaskan, membuat produsen menyerap beban kenaikan pajak, tapi di sisi lain konsumen itu tidak mengalami kenaikan harga.

“Mungkin itu yang jadi pertanyaannya, kenapa sih cukai itu tidak efektif mengurangi konsumsi? Banyak faktor di Indonesia,” jelas Vid.

Oleh karena itu, Vid berpesan, agar optimal, maka cukai plus HJE (harga minimum) yang digunakan untuk menurunkan keterjangkauan hingga perokok terdorong mengubah konsumsinya.

“Kalau cukainya naik, tanpa HJE dinaikkan, maka kemungkinan besar masih terjangkau. Kalau dibalik, ga bagus bagi government revenue,” terangnya.

Dia juga mengkritik struktur cukai tembakau di Indonesia paling kompleks dibandingkan negara lain di dunia.

“Terakhir, 2022 jadi 8 tier baru di SKT, tapi saya mendukung kebijakan tersebut karena bagus untuk konsumsi atau revenue,” ungkapnya.