SIANG ini terik sekali. Rasanya malas mau apa saja. Tapi sebentar, ada pesan masuk ke ponsel saya.
“Sampeyan bisa nggak bisa harus bisa. Coba wawancara mbak Puan Maharani tentang apa saja. Kalau bisa mengkritisi soal menanam padi atau apa!” demikian isi pesan dari bos tempat saya bekerja.
Menggunakan tanda seru di akhir kalimat itu, artinya saya harus mengerjakan. Meski tak suka dengan tugas itu.
Dua jam kemudian, saya sudah berhasil menghubungi mbak Puan. Kebetulan sedang ada di Kudus, jadi bisa meluangkan waktu untuk wawancara.
“Disini saja ya mbak, biar lebih nyaman. Saya kan perokok, jadi bisa santai,” saya memilihkan tempat, sebuah tempat terbuka dengan tulisan smoking area.
“Nggih mas. Repot ya jadi perokok, kayaknya sekarang merokok jadi kayak kriminal. Nggak bisa sembarangan, dan celakanya nggak setiap tempat menyediakan smoking area,” kata mbak Puan.
“Langsung saja mbak. Melihat media sosial, penuh dengan video aksi njenengan menanam padi. Tapi nggak seperti umumnya yang mundur, panjenengan justru malah sambil jalan maju,” saya memulai wawancara.
“Wis tak bedhek mesti takon kuwi. Sudah saya tebak,” jawab mbak Puan sambil senyum.
Kemudian dijelaskan bahwa aksi menanam padi itu sebenarnya secara hermeneutika bisa dimaknai sebagai sebuah keinginan. Hermeneutika adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentang tafsir makna.
“Kalau mau jujur, di beberapa daerah ada yang model nanam padinya dengan jalan maju. Kalau saya memilih cara itu, sebenarnya maksud saya adalah menunjukkan keinginan saya agar petani bisa maju,” mbak Puan mulai bicara panjang.
Tak banyak yang berani menyampaikan tekadnya dengan aksi. Apalagi politisi.
“Rata-rata hanya janji manis kata saja. Lihat saja presiden sekarang, dulu janjinya kayak apa. Sekarang apa yang dilakukan. Kalau saya memang memilih dengan tindakan yang simbolis, meskipun bisa disalahtafsirkan,” katanya.
Menurutnya, saat ini yang menjadi politisi tak pernah mau belajar. Mereka takut berbeda pendapat dengan rakyat. Mereka takut berselisih paham dengan yang mayoritas.
Menurut mbak Puan, ini sangat tidak sehat. Semua yang dipikirkan rakyatnya harus sama dengan yang dipikirkan pemerintah. Jika ada yang berbeda maka ia dianggap tidak sehat mentalnya.
“Ini kan kondisi yang tak baik bagi demokrasi kita. Pemerintah dan pejabatnya yang takut berbeda pendapat trus mereka buat aturan yang mengatur bahwa siapapun yang berbeda pendapat dengan pemerintah bisa dipidanakan. Ini kan aneh, tapi itulah faktanya,” kata mbak Puan.
Saya masih diam menyimak. Kemudian dilanjutkan, dengan model aksi menanam padi itu, menunjukkan kalau dirinya tak takut ditertawakan.
“Saya mengajari rakyat untuk berani berbeda. Makanya orang-orang di sekitar saya yang ikut nanam padi juga ikut jalan maju cara nanamnya,” katanya.
Steak yang dipesan sudah datang sejak tadi. Tapi saya nggak segera menyentuh, gigi saya masih sakit.
“Ayo mas sambil dimaem. Oh iya minumnya yang hangat nggih tadi?” mbak Puan menawari.
“Gini mbak, soal maem gampanglah. Tapi saya pengin tahu, seberapa besar keinginan mbak Puan maju sebagai calon Presiden?” saya nekad bertanya.
“Blas saya ini nggak pengin jadi calon Presiden. Saya hanya ingin memberi teladan bahwa berbeda pendapat itu tak harus dikriminalisasi dengan UU ITE juga UU lain. Banyak kriminal yang sebenar-benarnya kriminal malah dibiarkan. Ini kan aneh,” katanya.
“Lha billboard-billboard yang terpasang itu tujuannya apa?”
“Ini menggerakkan roda ekonomi secara riil. Pemilik titik reklame akan ada orderan, pemerintah daerah juga mendapat pemasukan dari pajak reklame, masyarakat juga bisa melihat wajah saya yang ayu secara gratis,” katanya senyum.