Jangan marah kalau anak sering bertanya. Justru berbahaya jika mereka berhenti untuk ingin tahu.
KAIDAH jangan pernah marah jika anak sering bertanya merupakan hal yang harus dipegang teguh oleh orang tua. Oleh karena rasa ingin tahu yang kuat, semua anak pasti senang bertanya-tanya pada berbagai usia dan tahap pertumbuhannya.
Ketika anak sudah mulai mampu berbicara, maka beberapa kata yang sering keluar biasanya bersifat pertanyaan. Contohnya: apa, apa ini, dan apa itu. Atau dinyatakan dalam bahasa ibu dari keluarga.
Nyaris tanpa henti sepanjang waktu. Pertanyaan serupa selalu diajukan berulang-ulang. Bahkan untuk hal yang sudah dijawab. Kadang orang tua mungkin merasa bosan menjawabnya. Dan dalam hal ini diperlukan kesadaran dan kesabaran orang tua agar kebosanan tidak tampak oleh anak.
Orang tua harus selalu mengingatkan dirinya bahwa anak sedang dalam tahap belajar. Tahap penuh ingin tahu yang sangat penting. Sikap dan reaksi orang tua akan menentukan tumbuh kembang diri anak selanjutnya. Tindakan yang tidak tepat atau bersifat negatif bisa mematikan atau mengurangi rasa ingin tahu anak.
Dahulu saya punya tetangga yang bapaknya suka membongkar pasang sepeda motor. Dia memiliki anak kembar laki-laki. Keduanya suka melihat aktivitas bapaknya, dan tentu saja bertanya tentang apa ini apa dan apa itu. Bahkan, mengapa dibegitukan.
Sejauh pengamatan saya, si bapak tidak cukup telaten meladeni pertanyaan si kembar. Bahkan, saya sempat melihatnya memarahi mereka ketika bertanya sambil memegang sesuatu.
Saya perhatikan, anaknya kemudian berhenti bertanya, dan si bapak tampak lega. Bapak itu mungkin tidak menyadari dampak buruknya: jika kejadian semacam itu terjadi berulang kali, maka mereka akan menjadi enggan atau malas bertanya.
Pada saatnya nanti ketika bersekolah, mereka besar kemungkinan akan enggan bertanya dalam pelajaran yang tidak dimengerti. Kesan bertanya akan menimbulkan reaksi negatif mudah tertanam dalam diri dan kepala mereka. Dapat dibayangkan akibat buruknya bagi perkembangan proses belajar anak sepanjang hidupnya.
Semua anak saya nyaris tidak pernah berhenti bertanya ketika mereka masih terbilang kecil. Ira saat usia 2 tahunan biasa dijak jalan-jalan ke area Taman Kanak-Kanak di dekat rumah untuk disuapi makan. Terutama tatkala nafsu makannya sedang kurang bagus. Sambil bermain, biasanya Ira bisa menghabiskan makanannya.
Pada suatu ketika, makanannya belum habis, dia sudah diajak pulang ke rumah. Ira bertanya kenapa harus pulang. Ketika saya jawab karena mau hujan. Lanjutan perbincangannya berupa rentetan pertanyaan, “Kenapa hujan?”
Karena awan mendung, jawab saya sambal memperlihatkannya awan yang sudah gelap. “Kenapa mendung?” lanjutnya. “Karena banyak uap air di awan,”
“Kenapa banyak uap air?” lanjutnya. Dijawab apa pun akan terus bertanya. Oleh karena sudah terbiasa, saya berupaya bersiap menjawab berbagai pertanyaan lanjutannya. Tentu saja diusahakan memakai kata dan kalimat yang relatif mudah atau sederhana.
SEMUA anak saya suka bepergian dengan kereta. Bahkan, Adli dan Akram sering diajak abahnya bepergian naik kereta lokal ke Klaten atau Solo, pulang pergi. Hanya untuk menikmati perjalanan saja, tanpa bermaksud berkunjung ke suatu tempat lainnya.
Akram tampak paling antusias jika melakukan perjalanan dengan kereta api. Dia senang melihat-lihat pemandangan di luar dan sering menanyakan banyak hal. “Itu apa? Mereka sedang apa? Kenapa?” Saya selalu berusaha menjawabnya. Kadang, abahnya membantu memberikan jawaban.
Pada suatu ketika, kami sekeluarga dalam perjalalanan pulang naik kereta api sehabis berlebaran di rumah kakek neneknya di Jakarta. Akram yang kala itu masih duduk di TK-A, masih sering bertanya sepanjang perjalanan. Sekitar jam 9 malam, ketika kami mengira dia telah mengantuk karena sempat terdiam sesaat.
Ternyata tiba-tiba dia kembali bertanya, “Kenapa keretanya berhenti?” Rupanya terdiam karena merasa kereta tidak bergerak. “Karena ada kereta lain yang mau lewat,” jawab saya.
“Kok kereta yang itu [yang lewat] jalannya ke sana [berlawanan arah]?” Saya jelaskan, “Kereta itu mau ke Jakarta. Kereta kita pergi dari Jakarta. Biar tidak bertabrakan, kereta kita berhenti dulu. Memberi jalan kereta yang itu”
Malam beranjak larut, Akram masih belum mau tidur. Seolah dia menunggu kereta lain yang akan berpapasan.
Kebetulan ada kereta lain yang lewat, ketika kereta kami berhenti, tetapi searah. Hal ini tidak luput dari perhatiannya dan ditanyakan. “Kok yang searah tidak bareng aja jalannya?” Saya duga dia membayangkan mobil atau motor yang berjalan agak berdampingan.
Saya jelaskan bahwa jalan kereta berupa rel cuma satu, bercabang menjadi beberapa rel hanya di sekitar stasiun dan beberapa tempat. Tentu saja ini kondisi perkeretapian tahun sekitar dua dekade lalu. Kereta searah yang melewati kami pun karena perbedaan kelas kereta kala itu, kami biasa naik kereta ekonomi atau bisnis saja.
Oleh karena Akram belum mau tidur dan masih terus bertanya, saya melanjutkan perbincangan. Memberi tahu jika kereta berlawanan arah disebut crashing, sedangkan yang searah disebut passing.
Rupanya, perbincangan menarik perhatian kakak-kakaknya yang semula asyik membaca. Mereka pun menjadi terus berbincang soal kereta. Akram yang masih penasaran dengan beberapa istilah baru terus bertanya pada kakaknya, yang menjelaskan dengan senang hati.
Suara Ira yang memang terbiasa berbicara nyaring membuat abahnya merasa kurang enak pada para penumpang yang kebanyakan sudah mulai tidur. Abahnya berupaya membujuk mereka berhenti berbincang. Namun bukan lah hal mudah ketika mereka sedang asyik berbincang tentang hal yang sedang menarik perhatian.
Apalagi Ira dan Adli sudah membaca buku tentang kereta api, sehingga mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan Akram.
Meski terus mencoba membujuk agar mereka diam, kami tetap berpegang pada kaidah tidak boleh menunjukkan rasa tidak suka apalagi marah jika anak banyak bertanya. Untungnya, para penumpang lain tidak ada yang menegur kami, meski mungkin merasa tidak nyaman. Pengalaman ini membuat kami kemudian lebih suka memilih kereta dengan perjalanan di siang hari.
Aya anak ketiga kami cenderung lebih suka mengamati dan menanyakan tentang orang-orang yang dia lihat. Bahkan, tak jarang bertanya langsung ke orang tersebut. Saya tidak melarangnya, hanya membujuk atau mengalihkan perhatiannya ketika merasa orang tersebut tampak kurang nyaman.
Kesukaan Aya ini membuat saya dan suami menyepakati penyebutan atau panggilan umum atas orang-orang dengan pertimbangan agar anak-anak menghormati semua orang setara.
Sebagai contoh, kami memanggil kedua asisten rumah tangga dengan mbak. Kami tak pernah membicarakan mereka sebagai pembantu, selalu mengesankan pada anak-anak bahwa mereka bekerja sekaligus menjadi keluarga.
Kebetulan dengan bertoko, ada tiga orang lain yang juga bekerja untuk kami. Mereka dipanggil om, karena banyak tamu atau teman kami yang dipanggil om.
Begitu pula dengan para pedagang keliling disebut ibu sayur, ibu buah, ibu susu, bapak minyak, bapak bakso dan lain-lain sesuai dagangannya. Alasannya juga karena banyak tetangga dan kenalan yang dipanggil bapak atau ibu. Semua orang kami upayakan sederajat di mata anak-anak. [dmr]