Anak lahir membawa potensi yang memungkinkan mereka jadi cerdas. Potensi ini sulit berkembang jika orangtua gemar melarang.
JURUS agar anak menjadi pintar adalah menjaga dan mengembangkan rasa ingin tahu anak. Saya menggunakan kata menjaga dan mengembangkan karena rasa ingin tahu anak sebenarnya merupakan bawaan sejak dia lahir.
Mari kita perhatikan perilaku anak-anak. Jika dibiarkan, anak kecil akan merangkak atau berjalan ke semua arah dan lokasi. Mereka tampak selalu melihat-lihat kondisi sekitarnya. Mereka mencoba meraih, memegang dan mengamati semua benda yang menarik perhatiannya. Hal itu membuktikan adanya rasa ingin tahu yang besar dari anak.
Para pakar pendidikan anak telah lama mengakuinya. Dr Thomas Amstrong, pakar pendidikan dari Amerika Serikat menyatakan, “Sesungguhnya setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas yaitu sifat keingintahuan, daya eksplorasi terhadap lingkungan, spontanitas, vitalitas dan fleksibilitas.”
Oleh karena anak memang sudah memiliki pembawaan demikian, maka orangtua hanya perlu membantu mengembangkannya. Meskipun demikian, tidak bisa dikatakan sebagai tugas yang mudah. Diperlukan sikap yang sungguh-sungguh disertai upaya orang tua untuk ikut menambah pengetahuan dirinya agar mampu membantu mengembangkan rasa ingin tahu anak.
Berdasar pengalaman keluarga kami, ada lima sikap dan tindakan yang mendukung pelaksanaan jurus mengembangkan rasa ingin tahu anak. Yaitu: 1. Jangan terlalu banyak melarang.
Tentang sebaiknya tidak banyak melarang anak dalam aktivitasnya terutama beralasan agar tidak menghalanginya melakukan berbagai eksplorasi. Tindakan melarang orangtua mungkin bermaksud baik dan ingin melindunginya dari sesuatu yang buruk. Namun, harus selalu diperhatikan caranya serta tidak menghambat perkembangan rasa ingin tahu mereka.
Ketika anak masih bayi, suka memasukkan benda-benda ke mulutnya. Karena khawatir, kita langsung mengambil dan menghardik “Jangan! Kotor.”
Ketika anak sudah bisa merangkak dan berjalan, dia hendak melihat dan mengambil benda-benda yang menarik perhatiannya. Kita langsung menahan tangannya sambil bilang “Jangan! Nanti pecah!”
Padahal cara belajar bayi dengan melihat, memegang dan merasakan benda di mulut. Dia tidak tahu benda berbahaya ataupun kotor. Kita sebagai orang tua yang menjaga agar “pengenalan bendanya” aman.
Dengan intionasi yang lebih lembut, dan gerakan yang tidak mengagetkan.
Kalau takut pecah, taruh benda di atas yang tidak terjangkau anak atau temani dia mengenal bendanya.
Kalau sudah terlanjur di mulut, saya bilang “ Tidak boleh dimasukkan ke mulut. Itu kotor” “Jijik”. Lalu saya ambil dan saya beri benda yang lebih aman. Ira yang paling sering memasukkan benda ke mulut, kelihatannya menghafal ucapan dan ekspresi saya. Jadi dia tidak kaget atau menangis kalau diambil.
BERKAIT dengan spontanitas anak, saya punya pengalaman. Ketika listrik mati, saya menyalakan lilin. Ira waktu itu masih 7 bulan dalam gendongan saya langsung tertarik dan berusaha memegang apinya lilin. Panas, dia terkejut tapi tetap ingin memegangnya. Rupanya penasaran. Tapi berbahaya kalau diteruskan. Terpaksa saya alihkan perhatiannya.
Pernah ke rumah tetangga, dia suka menunjuk-nunjuk benda yang berusaha dipegangnya. Waktu itu saklar lampu. Saya tunjukkan, dia pencet, kesetrum. Dia menangis. Tapi tetap berusaha memegang lagi. Setelah dijelaskan kalau bermasalah, biar diperbaiki dulu, barulah dia beralih ke benda yang lain.
Sekali lagi sebagai orangtua kita bertugas menjaga agar proses belajar mengenal benda anak kita aman.
Untuk belajar berkaitan dengan kemampuan motorikpun saya biarkan anak bereksplorasi dengan kekuatan otot tangan dan kakinya. Saya jarang menggendong kecuali perlu atau pada saat bepergian. Sejak bisa tengkurap, saya sering menaruhnya di lantai. Dia bebas berguling, saya tidak khawatir.