BARISAN.CO – Serial tulisan ini telah mengenalkan neraca Transaksi Berjalan bersama beberapa neraca lainnya yang berhubungan sangat erat. Muara analisis tentang semua itu adalah asesmen terhadap ketahanan sektor eksternal perekonomian Indonesia.
Ketahanan eksternal dimaksud adalah kemampuan menghadapi risiko akibat perubahan dalam dinamika perdagangan dan keuangan global.
Analisis yang lebih mendalam atas rincian berbagai indikator tersebut dapat mendeteksi indikasi kerentanan jika terjadi perubahan yang sangat besar. Baik dalam artian ketidakpastian yang tinggi, maupun jika terjadi krisis ekonomi global dalam berbagai skalanya.
Tulisan terdahulu telah menyajikan analisis sederhana tentang surplus atau defisit Transaksi Berjalan dengan memakai besaran rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio itu memang paling lazim dipakai sebagai indikator kerentanan sektor eksternal.
Defisit Transaksi Berjalan yang telah berlangsung selama sembilan tahun berturut-turut sejak 2012 bisa dikatakan merupakan tantangan terberat sektor eksternal. Penurunan defisit Transaksi Berjalan pada tahun 2020 sulit untuk disebut sebagai petanda perbaikan. Hal itu lebih disebabkan menurunnya aktivitas perdagangan dan transaksi internasional.
Bagaimanapun, ketahanan eksternal yang kuat seharusnya ditunjukkan oleh kecenderungan transaksi berjalan yang mengalami surplus. Dengan demikian, tambahan cadangan devisa seharusnya lebih bersumber dari kesinambungan produksi. Terjaganya kecukupan devisa diutamakan berasal dari sumber-sumber yang fundamental, yaitu karena produksi barang dan jasa.
Tambahan devisa seyogyanya bukan mengandalkan sumber yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar di masa mendatang, seperti utang atau penanaman modal asing. Apalagi jika kedua jenis transaksi itu tidak mendorong peningkatan produksi barang dan jasa yang mampu menghasilkan devisa. Devisa bertambah saat ini, namun tidak untuk membangun kemampuan menghasilkan devisa di kemudian hari.
Tambahan devisa akibat hal demikian cukup wajar terjadi selama satu dua tahun. Namun jika telah berlangsung sembilan tahun berturut-turut, maka perlu dikaji lebih cermat beberapa aspek dan kondisi rinciannya. Harus diakui akan ada beberapa hal yang bersifat berlawanan dan butuh strategi kebijakan yang jelas untuk mengelolanya.
Sebagai contoh, pada perlu ditekankan kembali bagian yang penting namun sering kurang mendapat perhatian dalam diskusi, yaitu tentang Pendapatan Primer. Pendapatan Primer selalu tercatat defisit dengan nilai yang cenderung meningkat tiap tahun. Menjadi penyumbang besar bagi terjadinya defisit pada Transaksi Berjalan.
Upaya pengendalian defisit Pendapatan Primer akan berbenturan dengan kebijakan otoritas ekonomi yang mengharapkan masuknya modal asing secara besar-besaran.
Peningkatan masuknya modal asing bahkan sering dibanggakan sebagai indikasi kredibelnya perekonomian nasional. Padahal harus diingat bahwa pihak asing mau berinvestasi atau memberi utang karena berharap akan adanya hasil kembalian berupa keuntungan dan pembayaran bunga.
Dengan demikian, kondisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) keseluruhan tidak cukup dianalisis atas dasar besaran surplus atau defisitnya saja. Begitu pula, posisi cadangan devisa yang meningkat perlu ditelisik tentang faktor penyebabnya. Dan proyeksi ke masa mendatang perlu terus menerus dilakukan dan menjadi pertimbangan penting bagi pengambilan kebijakan dari otoritas ekonomi.
Dalam hal faktor NPI, cadangan devisa yang cenderung bertambah disebabkan oleh utang luar negeri atau investasi modal asing. Hal itu terkonfirmasi dalam data posisi investasi internasional Indonesia yang telah dibahas. Secara lebih khusus untuk utang luar negeri, dapat pula ditelusuri proses dinamisnya pada sebagian pos neraca Transaksi Finansial (bagian dari NPI).
Dengan demikian, selain rasio surplus atau defisit transaksi berjalan, terdapat berbagai indikator sustainabilitas eksternal dalam publikasi NPI. Selama beberapa tahun terakhir, kebanyakan tidak menggambarkan perbaikan atau kondisi eksternal yang kuat. Di antaranya adalah:
- Rasio ekspor neto barang dan jasa terhadap PDB
- Rasio posisi ULN terhadap PDB
- Rasio posisi ULN jangka pendek terhadap PDB
- Rasio posisi ULN terhadap cadangan devisa, dan
- Rasio posisi ULN jangka pendek terhadap cadangan devisa
Begitu pula dengan berbagai indikator utang luar negeri yang disajikan dalam SULNI dari Bank Indonesia. Di antaranya adalah:
- Rasio Utang Jangka Pendek berdasarkan Jangka Waktu Asal terhadap Total Utang
- Rasio Utang Jangka Pendek berdasarkan Jangka Waktu sisa terhadap Total Utang
- Rasio Pembayaran Utang
- Rasio Utang terhadap Ekspor, dan
- Rasio Utang terhadap PDB
Beberapa memang tidak memburuk, namun tak mengindikasikan perbaikan yang cukup meyakinkan. Beberapa di antaranya justru memburuk, meski pelahan.
Kondisi kurang kuatnya ketahanan eksternal Indonesia lebih tampak pada beberapa indikator yang dipublikasi oleh Bank Dunia dan IMF. Dalam hal itu, kondisi Indonesia lebih buruk dari keseluruhan negara berpendapatan rendah dan menengah. Antara lain adalah rasio posisi ULN atas GNI, posisi ULN atas total ekspor barang dan jasa, dan Debt Service Ratio (DSR).
Gross National Income (GNI) atau Produk Nasional Bruto (PNB) adalah besaran serupa PDB yang telah memperhitungan faktor produksi luar negeri bersih. PDB berbasis wilayah, PNB berbasis kewargaan. PNB mengeluarkan hasil faktor produksi asing dari PDB, dan menambahkan hasil penduduk Indonesia di luar negeri. PNB (GNI) Indonesia sedikit lebih kecil dari PDB, sekitar 2-3% tiap tahunnya.
Grafik: External Debt Stocks to GNI (%)
Sumber data: International Debt Statistics 2021 (World Bank).
Selain soal sebagian indikator yang memburuk, ketahanan eksternal Indonesia belum cukup teruji oleh guncangan eksternal yang cukup besar.
Indonesia memiliki pengalaman buruk pada tahun 1997/1998, dan kemudian terdampak namun cukup berhasil bertahan pada tahun 2008/2009. Setelahnya belum ada ujian kondisi eksternal yang terbilang berat.
Padahal, kondisi terkini dan dinamika beberapa tahun ke depan amat perlu diwaspadai oleh otoritas ekonomi. Kondisi global penuh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 dan beberapa perubahan faktor lain yang makin berpengaruh. Di antaranya perkembangan teknologi, tren bisnis, instrumen keuangan, kecenderungan aturan lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Sementara itu, perekonomian domestik belum benar-benar pulih. Dapat dikatakan pula proses pemulihan cukup bergantung pada dinamika global.
Sebagai contoh, peningkatan produksi (PDB) amat membutuhkan peningkatan ekspor sekaligus impor. Pembiayaan APBN amat dipengaruhi oleh ketertarikan asing untuk membeli SBN. Modal asing melalui Investasi Langsung dan jenis Investasi Lainnya masih amat diharapkan untuk mendorong laju investasi dalam perekonomian. []
Tulisan tentang Transaksi Berjalan lainnya:
Kontributor: Awalil Rizky
Diskusi tentang post ini