BARISAN.CO – Sebelum era pemerintahan Soeharto, hampir seluruh Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia merupakan utang pemerintah. Hanya sedikit pihak swasta yang memiliki ULN, terutama beberapa perusahaan asing yang masih diperbolehkan beroperasi di Indonesia saat itu.
ULN swasta meningkat pesat mulai era pertengahan 1970an seiring dengan makin terbukanya Indonesia terhadap investasi asing. Pihak swasta domestik pun kemudian banyak yang mencairkan ULN pada era 1980an.
Arus masuk ULN oleh pihak swasta mencapai puncaknya pada beberapa tahun sebelum krisis 1997/1998. Posisi ULN swasta menjadi lebih besar dibanding ULN Pemerintah.
Setelah krisis mereda, ULN swasta berangsur turun dan menjadi lebih kecil dibanding Pemerintah hingga tahun 2012. Kemudian meningkat kembali, hingga relatif setara selama beberapa tahun terakhir.
Pada akhir 2020, posisi ULN swasta sebesar US$208,28 miliar, sedangkan ULN Pemerintah sebesar US$206,38 miliar.
Berdasar mata uang atau denominasinya, sebagian besar ULN swasta adalah dalam mata uang dolar Amerika. Porsinya mencapai 87,56% dari total ULN Swasta pada akhir 2020.
Porsi mata uang lainnya yang terbanyak adalah: rupiah (5,51%), Yen Jepang (2,50%), Euro (1,94%), dan Yuan China (1,68%).
Sumber data: Bank Indonesia.
Dari informasi tentang denominasi ini, perubahan kurs dari dolar Amerika memang masih sangat besar. Pelemahan rupiah atasnya akan langsung menambah beban bagi pihak swasta Indonesia yang memiliki ULN tersebut, serta memberi tekanan pada ketahanan eksternal perekonomian nasional. Apalagi jika produksi dari perusahaan tersebut kebanyakan dijual di dalam negeri dengan harga dalam rupiah.
Dokumen Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) menyajikan komposisi posisi ULN Swasta dalam dua kelompok. Pada akhir 2020, posisi ULN Lembaga Keuangan (Financial Coorporation) sebesar US$44,44 miliar, dan Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan (Nonfinancial Coorporation) sebesar US$163,84 miliar.
Posisi ULN Lembaga Keuangan terdiri dari Bank sebesar US$34,09 miliar, dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) sebesar US$10,35 miliar.
Posisi ULN Bank, LKBB dan Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan dikategorikan lagi dalam empat jenis berdasar kepemilikannya. Yaitu: Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Swasta asing, Swasta Campuran, dan Swasta Nasional.
Berdasar data itu, sebenarnya dapat dihitung posisi ULN BUMN. Posisinya pada akhir 2020 sebesar US$58,08 miliar. Terdiri dari: Bank BUMN (US$9,06 miliar), LKBB BUMN (US$3,37 miliar), dan Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan BUMN (US$45,65 miliar).
Selama 14 tahun terakhir, ULN BUMN meningkat lebih pesat dibanding ULN swasta yang bukan BUMN. Akibatnya, porsi ULN BUMN menjadi makin besar, dan telah mencapai 27,89% dari total ULN swasta. Padahal, porsinya baru sebesar 6,51% pada tahun 2007.
Sumber data: Bank Indonesia.
Peningkatan terbesar selama lima tahun terakhir terjadi pada ULN BUMN yang bukan lembaga keuangan. Terutama pada kelompok yang biasa disebut sebagai BUMN Karya dan BUMN energi. Pada akhir 2020, porsinya mencapai 78,61% dari total ULN BUMN. Padahal baru sebesar 72,38% pada akhir 2016.
SULNI melaporkan posisi ULN Swasta pada akhir 2020 menurut Kelompok Kreditor, terdiri dari yang berasal dari Lembaga Keuangan (US$124,22 miliar) dan dari Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan (US$68,28 miliar). Rincian kelompok ini tidak termasuk surat berharga domestik, kas dan simpanan serta kewajiban lainnya, yang sebesar US$15,78 miliar
Disajikan pula rincian negara asal pemberi pinjaman (kreditor). Lima negara berporsi terbesar dalam hal ini adalah sebagai berikut: Singapura sebesar US$67,72 miliar (35,57%), Amerika Serikat sebesar US$29,41 miliar (15,44%), Tiongkok sebesar US$19,08 miliar (10,02%), Jepang sebesar US$16,46 miliar (8,64%), dan Hongkong sebesar US$12,49 miliar (6,56%). Rincian kelompok ini juga tidak termasuk surat berharga domestik, kas dan simpanan serta kewajiban lainnya.