Scroll untuk baca artikel
Blog

Menggagas Filsafat Komunikasi Islam

Redaksi
×

Menggagas Filsafat Komunikasi Islam

Sebarkan artikel ini

Para pemikir komunikasi Islam, seperti Hamid Mowlana, Dilnawaz A.Siddiqui, Majid Tehranian, Abdul Muis, Andi Faisal Bakti, Jalaluddin Rakhmat, Aijaz Ahmad Bhat, dan lainnya secara tajam dan serius menyerukan bahwa Islam sebagai sumber dari segala sumber pengetahuan manusia memberikan landasan berpikir dan jawaban pada seluruh permasalahan komunikasi manusia melalui ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang bermuara dari wahyu (Al-Qur’an). Seluruh pemikiran para ahli komunikasi Muslim tentang persoalan komunikasi manusia, termasuk persoalan filosofis ditegaskan secara absolut diberikan jalan keluarnya oleh al-Qur’an yang kemudian bisa  kita interpretasikan secara logis yang akhirnya terformulasikan dalam Filsafat Komunikasi Islam.

Pendekatan atau konsep filsafat komunikasi Islam ini tentu saja akan memiliki kebaruan dalam menjelaskan signifikansi filsafat komunikasi Islam di era industri 4.0 yang diwarnai ambiguitas, disrupsi, dan postruth pada keilmuan dan referensi manusia. Tantangan untuk mengibarkannya terutama terdorong oleh terbitnya “Empedocles: European Journal for the Philosophy of Communication” (diterbitkan oleh Intellect Books and dan Communication, Cultural & International Communication Association Critical di United Kingdom dengan para editor dari berbagai akademisi lintas negara besar) yang berbau Barat.

Begitu pula, sebuah buku babon hasil kegigihan para akademisi, peneliti, dan pemikir filsafat komunikasi Barat yang telah menelurkan ensiklopedia “Philoshopy of Communication”. Meski, dari tulisan mereka meninggalkan catatan betapa filosofi komunikasi terfragmentasi di antara aliran yang berbeda: beberapa berfokus pada bahasa, yang lain pada komunikasi yang sesungguhnya. Dalam Islam, perbedaan aliran itu akan menjadi jalinan yang terinterkoneksi yang dapat lebih memecahkan keambiguan melalui penjelasan Al-Qur’an dan hadis juga ijtihad para pemikir komunikasi Islam.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa alam, manusia dan kitab suci, di dalamnya terdapat hukum-hukum dan semuanya itu diciptakan agar manusia mau memikirkannya. Karena melalui proses pemikiran keilmuan itu, maka akan tersingkap dan diketahui makna kebenaran yang ada di dalamnya, yang memungkinkan manusia memanfaatkan untuk kemungkinan hidupnya. Al-Qur’an [43] ayat 3-4 menjelaskan tentang dirinya sebagai objek berpikir dan menjadi pusat pengetahuan hikmah.

Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan Sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam Induk Al kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar Tinggi (nilainya) dan Amat banyak mengandung hikmah”.