Jika ketiga landasan itu tidak digunakan maka besar kemungkinan produk Undang-undang tersebut dibuat oleh rezim yang mempunyai politik hukum otoriter.
Oleh karenanya pada setiap pembuatan RUU harus melalui proses penyusunan Naskah Akademik, membuat rancangan, membuka partisipasi publik, memperbaiki naskah akademik sesuai masukan masyarakat, baru disampaikan ke DPR. Partisipasi masyarakat akan tercermin dari uji publik untuk setiap tahapan draf.
Jadi jika setiap RUU pada beberapa waktu terakhir selalu saja menimbulkan protes publik secara luas dan dilakukan secara tergesa-gesa untuk disahkan menjadi Undang-undang, maka kepentingan siapakah yang paling diutamakan?
Seharusnya kasus UU Omnibus Law yang dinyatakan cacat formal dan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi bisa dijadikan pelajaran.
Bahwa pembentukan UU yang dilakukan secara cepat, terburu-buru dengan naskah akademik yang lemah dan minim partisipasi masyarakat berisiko menghasilkan produk UU yang amat lemah akuntabilitasnya.
UU tersebut dinilai tidak bisa dipertanggungjawabkan karena parlemen didominasi oleh pendukung pemerintah, dan menyebabkan matinya pengawasan politik di parlemen.
Karenanya, sudah saatnya proses legislasi di parlemen dievaluasi agar muatan ketentuan perundangan di dalamnya dapat menjadi acuan yang disetujui oleh semua pihak.
Alasan padatnya waktu dan kesibukan di parlemen tidak dapat diterima karena secara kuantitas jumlah Undang-undang yang disahkan DPR RI baik pada masa bakti 2014-2019 hanya menghasilkan 91 RUU yang disahkan menjadi UU dan masa bakti 2019-2024 yang sudah berjalan 3 tahun hanya menghasilkan 43 UU yang disahkan. Berbeda jauh dengan DPR RI masa bakti 2004-2009 yang mampu menghasilkan 167 RUU menjadi UU yang disahkan.
Jika secara kuantitas lebih rendah, maka lebih banyak waktu yang dapat digunakan untuk menghasilkan kualitas produk Undang-undang yang lebih bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan. (P17)