Saat terjadi kekerasan karena sudah bergantung, kebanyakan perempuan mentolerir pasangannya.
BARISAN.CO – Banyak orang mengira, saat perempuan memutuskan untuk menjadi seseorang yang independen, mereka tidak memerlukan siapa-siapa termasuk laki-laki. Menjadi mandiri bukan berarti balas dendam untuk membebaskan dunia dari laki-laki atau menjungkirbalikkan kekuasaan laki-laki. Di sinilah letak kepercayaan keliru terbesar.
Menjadi mandiri berarti mampu mengekspresikan diri dengan cara apa pun yang kita sukai dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal-hal yang kita ingin lakukan tanpa memaksakan diri untuk menyesuaikan diri dengan stereotip standar perempuan.
Kita dapat bertindak sesuai keinginan untuk mengungkapkan perasaan terdalam, tanpa berusaha terlihat tunduk, pemalu, atau memaksakan sifat lain yang diharapkan dimiliki wanita – hanya karena menjadi seorang perempuan.
Perempuan independen juga membuat mereka tak khawatir saat harus mengambil keputusan berani untuk berpisah dengan pasangannya. Sebab, salah satu penyebab perempuan mentolerir pelecehan atau kekerasan dalam rumah tangga karena mereka bergantung pada pasangannya.
Sehingga, mereka kesulitan untuk melarikan diri dari pernikahan yang dipenuhi kekerasan tersebut.
Seperti yang disampaikan Tatak Ujiyati, mantan peneliti di Oxfam mengatakan, ketidakseimbangan power relation antara perempuan dan laki-laki itu bisa memicu kekerasan.
“Ketika perempuan dan laki-laki tidak setara, yang lebih lemah saat diperlakukan semena-mena tidak bisa melawan. Kita tidak bicara tentang gender, tapi unfortunately, kebanyakan perempuan yang dirugikan dalam hubungan relasi dengan laki-laki,” kata Tatak dalam wawancara dengan Barisanco beberapa waktu yang lalu.
Ketidaksetaraan ini biasanya terjadi ketika laki-laki bekerja, sedangkan perempuan yang awalnya mungkin bekerja dan well-educated, saat keduanya menikah dan punya anak, suaminya mulai membatasi, ujar Tatak.
“Akhirnya, atas nama cinta, perempuan itu mengalah dan dia pikir hubungan suami istri itu akan tetap ideal saling support selamanya. Sehingga, kalau dia tidak bekerja, suaminya akan men-support, kan gitu asumsinya,” jelasnya.
Dengan asumsi seperti itulah, menurut Tatak yang pada akhirnya, saat istri sudah dependent secara ekonomi, tidak punya kerja, saat suaminya macam-macam menjadi tidak punya kekuatan.
“Ketika sudah bergantung, ketika ada abuse, dia nggak bisa membela. Itulah yang sering terjadi, sehingga satu-satunya cara kalau ingin tidak terjadi, harus ada equal hubungan antara perempuan dan laki-laki,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, sebetulnya di mata Tuhan, baik perempuan atau laki-itu yang paling baik dilihat dari imannya.
“Laki-laki yang baik itu pasti tidak akan menekan perempuan, sehingga perempuan itu akan tidak mampu mandiri,” terangnya.
Kita sebagai perempuan harus menyadari bahwa kita memiliki kekuatan dan kemandirian yang luar biasa. Meskipun jalan kita masih panjang, perempuan harus memiliki kendali lebih besar hari ini daripada sebelumnya atas karier, tubuh, keuangan, dan gaya hidupnya.
Terutama, saat bertahan dalam rumah tangga yang toxic juga akan berpengaruh pada diri sendiri dan anak-anak kita. Anak-anak akan mencerna apa yang dilihat dan didengarnya.
Perempuan bukan lagi di urutan kedua dalam masyarakat, tetapi setara dengan laki-laki.