Melawan Akal Sehat
Konsolidasi kekuasaan dalam suatu perhelatan demokrasi elektoral merupakan hal yang lumrah dan sah-sah saja. Hampir di seluruh dunia, fenomena atau realitas politik semacam ini terjadi. Biasanya para penguasa yang akan turun dari jabatannya mempunyai naluri (instink) politik untuk mempertahankan kekuasaannnya. Jika sudah habis masa jabatannya, biasanya strategi politik berubah dengan cara memasang sosok yang dianggap bisa melanjutkan program dan kepentingannya.
Kandidatnya bisa dari kalangan keluarga sendiri yang kemudian dikenal sebagai politik dinasti, atau bisa juga kandidat yang sealiran, seideologi atau sekepentingan. Dari kasus terakhir, maka muncul istilah calon ‘boneka’. Istilah calon boneka merujuk kepada calon kepanjangan dari penguasa. Biasanya calon boneka, kualitasnya rendah. Calon boneka diskenariokan bakal dikalahkan dengan mudah oleh calon cukup berkualitas yang diusung oleh koalisi gemuk dan penguasa.
Parameter kandidat biasanya mengacu hasil survei lembaga survei yang dianggap credible. Tidak harus nomor satu atau dua, paling tidak masuk lima besar. Hasil survei Indikator Politik Indonesia teranyar menunjukkan, Anies Baswedan (39%) menempati urutan teratas dalam simulasi top of mind Pilgub DKI 2024. Posisi kedua ditempati Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan 23,8 persen. Ketiga RK dengan 13,1 persen.
Jika pada Pilgub DKI 2024 RK melawan kandidat kelas kaleng-kaleng, bisa diibaratkan David melawan Goliat. Manakala hal ini benar-benar terjadi, dapat dianggap melawan akal sehat dan perasaan umum (common sene) rakyat kebanyakan yang menghendaki terjadinya kandidasi dan kontestasi secara berimbang. Serta merupakan indikasi kemunduran (backsliding) demokrasi di Jakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Padahal Jakarta diharapkan tetap menjadi barometer demokrasi di tingkat nasional. Dikuatirkan Pilgub DKI 2024 berpotensi menjadi kurang menarik. Jika tidak menarik, berpotensi menurunkan/merendahkan tingkat partisipasi pemilih. Serta mengindikasikan terjadinya kemunduran (backsliding) demokrasi di Jakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Kejutan Politik
Sebagai suatu arena kontestasi dan kompetisi demokrasi elektoral, kejutan politik selalu tetap ada. Tergantung ketersediaan element of surprise. Dari sisi proses, kemungkinan terjadi kejutan berupa koalisi antara PDI Perjuangan dengan PKB, ditambah Parpol lainnya di injury time masa pendaftaran dengan mengusung Anies sebagai Cagub (dianggap dari PDI Perjuangan) dengan Cawagub dari PKB atau yang lainnya. Apalagi PKB dengan Cak Imin sebagai Ketua umumnya dikenal mempunyai keahlian melakukan acrobat politik. Sementara eksistensi Anies sebagai sosok marketable dan memiliki jam terbang tinggi ditunggu kemampuan untuk mampu meyakinkan peserta Pilgub DKI agar mencagubkan mantan Menteri Pendidikan Nasional tersebut, sangat penting dan sekaligus menjadi ujian berat.
Selain itu, mungkin saja Cagubnya bukan Anies, melainkan hasil kompromi dan konsensus politik antara kubu PDI Perjuangan dengan Parpol lain. Kejutan lain dari PKS, terutama PKB jika urung bergabung dengan KIM berpotensi terjadi tidak mendapat jumlah jatah atau kavling/posisi Menteri yang diharapkan. Termasuk kejutan, jika PDI Perjuangan di Pilgub DKI 2024 tidak mengusung Cagub DKI karena tidak mau berkolaborasi dengan KIM Plus dan juga tidak mau berkolaborasi dengan Parpol atau Koalisi lainnya.
Bagaimana jika ada desakan keras dan massif dari masyarakat, termasuk elit-elit politik berpengaruh di tingkat nasional. Apakah akan berdampak dan membuka peluang sosok semacam Anies atau Ahok menjadi Cagub atau Cawagub DKI; atau muncul sosok alternatif yang kualitasnya seimbang dengan popularitas RK? Biasanya sulit desakan publik atau elit pada the ruling elite akan mempengaruhi putusan politik dari Parpol. Sebab umumnya Parpol beranggapan, putusan politiknya setelah menyerap aspirasi masyarakat, dan kepentingan daerah atau bangsa yang lebih luas. Akibatnya polemik atau pro kontra semacam itu akan berhenti seiring pendaftaran Cagub dan Cawagub DKI ke KPU DKI mulai dilakukan.