Tak berhenti sampai di situ, BNI, BRI dan Mandiri merupakan bank nasional yang mengumumkan terbentuknya Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI) dan berkomitmen untuk menerapkan Sustainable Finance. Hebatnya lagi, BNI merupakan satu-satunya bank di Indonesia yang menjadi anggota UN Environment Programme Finance Initiative. Bukan hanya iti, BNI mendukung upaya Pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), penyebab krisis iklim, hingga 29% dengan upaya sendiri, atau hingga 41% dengan dukungan negara donor pada tahun 2030.
Sementara itu, BRI menyatakan dalam laporan tahunan 2020 bahwa mereka tidak akan memberikan pembiayaan kredit pada usaha yang merusak lingkungan dan berkomitmen untuk menerapkan praktik keuangan berkelanjutan yang diintegrasikan dengan aspek ESG (Environment, Social, and Governance).
Sedangkan BCA dalam laporan keberlanjutan pada 2020 mengungkapkan bahwa Dari sisi lingkungan internal, BCA mulai mengembangkan strategi untuk mitigasi dan adaptasi pada perubahan iklim. Sebuah komitmen iklim yang terdokumentasi dalam laporan resmi perusahaan.
Semua baik-baik saja. Tidak ada bank yang menyatakan tidak ramah lingkungan dan tidak mendukung upaya melawan krisis iklim. Tapi itu hanya di permukaan saja. Bank-bank itu ternyata masih mendanai proyek batu bara, salah satu sumber utama krisis iklim.
Seperti ditulis Moody’s Investor Service, pada tanggal 23 November 2021, perusahaan tambang batu bara, ABM Investama mengumumkan bahwa mereka mendapatkan pinjaman sebesar 100 juta USD dari dua bank BUMN. Bank BUMN itu adalah BNI dan Mandiri.
Sebelumnya, pada April 2021, BNI dan BRI bertindak sebagai agen fasilitas dalam pemberian kredit sindikasi sebesar USD 400 juta untuk Adaro. Perusahaan Adaro merupakan produsen batu bara terbesar kedua di Indonesia yang memiliki cadangan batu bara sebesar 1,1 miliar ton. Jika dibakar, emisi batu bara itu akan menyebabkan krisis iklim terjadi makin cepat.
Bank Mandiri dan BRI pada Juli 2020 misalnya, terlibat dalam kredit sindikasi sebesar USD 2.6 miliar dalam jangka waktu 183 bulan untuk membangun PLTU batu bara ‘Jawa 9 dan 10’ di Banten. Padahal, berdasarkan pemodelan dampak kesehatan, PLTU itu akan menyebabkan lebih dari 4.7001 kematian dini selama masa PLTU tersebut beroperasi. Konsumsi batu bara PLTU Jawa 9 dan 10 diperkirakan mencapai adalah 9.672.000 ton per tahun. Dapat dibayangkan betapa besar emisi GRK yang dihasilkannya.
Hal yang sama juga terjadi pada BCA. Mengutip Global Coal Exit List1, BCA tercatat masih memberikan pembiayaan pada sektor batu bara antara Oktober 2018 – Oktober 2020. Bahkan, seperti ditulis TEMPO, 28 November 2021, Presiden Direktur BCA meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberikan kemudahan bagi perbankan untuk menyalurkan dana ke sektor batu bara.