Semua baik-baik saja. Tidak ada bank yang menyatakan tidak ramah lingkungan dan tidak mendukung upaya melawan krisis iklim. Tapi itu hanya di permukaan saja. Bank-bank itu ternyata masih mendanai proyek batu bara, salah satu sumber utama krisis iklim.
Seperti ditulis Moody’s Investor Service, pada tanggal 23 November 2021, perusahaan tambang batu bara, ABM Investama mengumumkan bahwa mereka mendapatkan pinjaman sebesar 100 juta USD dari dua bank BUMN. Bank BUMN itu adalah BNI dan Mandiri.
Sebelumnya, pada April 2021, BNI dan BRI bertindak sebagai agen fasilitas dalam pemberian kredit sindikasi sebesar USD 400 juta untuk Adaro. Perusahaan Adaro merupakan produsen batu bara terbesar kedua di Indonesia yang memiliki cadangan batu bara sebesar 1,1 miliar ton. Jika dibakar, emisi batu bara itu akan menyebabkan krisis iklim terjadi makin cepat.
Bank Mandiri dan BRI pada Juli 2020 misalnya, terlibat dalam kredit sindikasi sebesar USD 2.6 miliar dalam jangka waktu 183 bulan untuk membangun PLTU batu bara ‘Jawa 9 dan 10’ di Banten. Padahal, berdasarkan pemodelan dampak kesehatan, PLTU itu akan menyebabkan lebih dari 4.7001 kematian dini selama masa PLTU tersebut beroperasi. Konsumsi batu bara PLTU Jawa 9 dan 10 diperkirakan mencapai adalah 9.672.000 ton per tahun. Dapat dibayangkan betapa besar emisi GRK yang dihasilkannya.
Hal yang sama juga terjadi pada BCA. Mengutip Global Coal Exit List1, BCA tercatat masih memberikan pembiayaan pada sektor batu bara antara Oktober 2018 – Oktober 2020. Bahkan, seperti ditulis TEMPO, 28 November 2021, Presiden Direktur BCA meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberikan kemudahan bagi perbankan untuk menyalurkan dana ke sektor batu bara.
Berbagai elemen masyarakat sudah bergerak. Komunitas mahasiswa Fossil Free UI dan UGM sudah membikin petisi ke Direktur BNI untuk menghentikan pendanaan ke batu bara (https://www.change.org/GaPakeNanti). Koalisi organisasi masyarakat sipil telah membangun platform digital https://bersihkanbankmu.org/, untuk menampung suara masyarakat dalam mengajak keempat bank papan atas itu agar menghentikan pendanaan ke batu bara.
Namun, tampaknya para petinggi bank-bank itu masih memilih mendanai batu bara yang mengancam masa depan umat manusia. Kini bola panas ada di tangan para petinggi bank-bank itu. Salah pilih dalam memutuskan, bukan tidak mungkin bank-bank mereka juga akan kolaps karena ditinggalkan nasabahnya. Jika itu terjadi, krisis iklim bukan hanya telah menimbulkan bencana ekologi, tapi juga bencana ekonomi di negeri ini. [Luk]