Esai

Merdeka Belajar, Menciptakan Wirausaha Muda, Mengapa Tidak?

Noerjoso
×

Merdeka Belajar, Menciptakan Wirausaha Muda, Mengapa Tidak?

Sebarkan artikel ini
Menciptakan Wirausaha Muda
Ilustrasi: Unsplash/Firmbee.com

Pentingnya pemetaan kemampuan dan bakat wirausaha yang dimiliki oleh setiap peserta didik. 

BARISAN.CO – Beberapa waktu yang lalu, saya diminta untuk memfasilitasi diskusi guru dan karyawan di sebuah SMK swasta.  Secara  kebetulan saya adalah salah satu dari anggota Komitenya.  Arah diskusinya adalah bagaimana lulusan SMK tersebut sebagian besarnya menjadi wirausaha bukan lagi buruh industri apalagi pengangguran. 

Selain terkait dengan kondisi faktual bahwa negara kita telah mengalami deindustrialisasi, terbatasnya daya serap industri yang tak sebanding dengan jumlah lulusan SMK juga kebijakan pemerintah terkini terkait dengan SMK. 

Yaitu berubahnya orientasi SMK yang sebelumnya ber-BMW menjadi bber-WBM.  BMW singkatan dari bekerja (di sektor industri), meneruskan dan wirausaha.  Artinya bahwa sebagian besar lulusan SMK seharusnya adalah menjadi buruh industri, sebagian kecilnya meneruskan kuliah dan sebagian kecilnya lagi adalah berwirausaha. 

Namun sejak orientasinya berubah menjadi ber-WBM maka sebagian besar lulusan SMK haruslah menjadi wirausaha, sebagian kecilnya adalah menjadi buruh industri dan sebagian kecilnya lagi adalah meneruskan kuliah. 

Banting setir ini sangatlah perlu adanya pemetaan yang sesuai agar rekayasa selama 3 tahun belajar di SMK benar-benar menjadi efektif untuk mencetak lulusannya menjadi wirausaha.  Dari lima hari diskusi dihasilkan simpulan  bahwa dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian  bagi pengajar dan peserta didik serta infrastruktur yang ada. 

Tak dipungkiri saat ini kondisi pembelajaran yang dikenal dengan istilah teaching factory telah seolah-olah menyatukan sekolah dengan dunia industri.  Di mana sekolah berikut kurikulumnya dibuat sedemikian rupa sehingga sama persis dengan yang ada pada industri. 

Industripun bahkan telah  diberi jam mengajar langsung dengan peserta didik.  Tentu bukan hanya itu saja, kompetensi pengajarnyapun harus disertifikasi oleh industri.  Untuk itulah dibutuhkan perubahan pola pikir yang mendasar. 

Tentu saja yang paling berat adalah mengubah pola pikir dan image masyarakat sebagai konsumen SMK itu sendiri.  Bagi orang tua murid, salah satu pertimbangan untuk menyekolahkan anaknya di sebuah SMK justeru karena adanya iming-iming serapan dari industri. 

Jika itu tidak terjadi maka tamatlah sudah PPDB (pendaftaran peserta didik baru).  Dan itu berarti kiamat untuk sekolah tersebut.

Banyak langkah penting yang harus ditetapkan ulang dari skema banting setir SMK tersebut.  Pertama adalah bahwa pembelajaran di SMK tak bisa lagi dengan cara lama tetapi haruslah mengacu pada model E4K.  E4K ini adalah sebuah singkatan dari proses pembelajaran yang bersifat filosofis.  E yang pertama adalah enjoy.  Itu artinya bahwa Siswa dan guru dalam melakukan pembelajaran haruslah merasa enjoy.  Tidak ada lagi

kata terpaksa dalam proses pembelajarannya.  Tentu saja banyak cara untuk menjangkau E yang pertama ini mulai dari belajar lintas generasi, cross visit sampai dengan pembelajaran berbasis proyek.  E yang kedua adalah easy.  Pembelajaran haruslah dibuat semudah mungkin.