Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Merumuskan Ego

Redaksi
×

Merumuskan Ego

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Dikatakan bahwa manusia itu makhluk tak tahu diri. Dengan gampangnya menerima “amanat”, sementara makhluk lainnya dengan tegas menolak. “Kami telah tawarkan amanat kepada langit dan bumi, juga kepada gunung-gunung, mereka menolak untuk memikulnya, mereka takut untuk tidak bisa membawanya, kemudian manusialah yang mengembannya. Sungguh manusia saat itu betul-betul zalim dan tak tahu diri.” (Al Ahzab: 72).

Banyak penjelasan untuk istilah “amanat”, tapi yang paling meyakinkan adalah tafsir dari Muhammad Asad, dengan mengacu ayat tersebut dimaknai sebagai “akal” atau “intelek”, dan “kemampuan berkehendak”. Kiranya itu pula makna “ego”-nya Muhammad Iqbal, yang membedakan ego-ego lain di luar manusia, yaitu berupa akal dan kemampuan berkehendak.

Bab pertama dari bukunya, Rekonstruksi Pemikiran Religius Dalam Islam, tersirat bahwa ego atau diri yang dimaksud Iqbal adalah merujuk kepada surat Al Ahzab ayat 72 itu. Bahwa manusia adalah pribadi yang memenuhi tanggung jawab moralnya, berkat anugerah akal dan kehendak bebas. Bahwa kehendak bebas adalah kemampuan memilih di antara dua atau lebih tindakan atau modus perilaku yang mungkin, dan karenanya, kemampuan memilih antara yang baik dan yang buruk. Jadi, konsep diri menurut Iqbal tiada lain berupa perbuatan yang lahir dari arahan akal dan hati nurani.

Lantas, “diri” macam apa dan bagaimana yang beramanat itu?

Lebih mudahnya kita telaah bacaan yang saban waktu kita lirihkan dalam salat, paling tidak 17 kali, “Tunjukilah kami jalan yang benar, (yaitu) jalan mereka yang Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat.” (Al Fatihah: 6-7).

Ada dua karakter “diri” yang tak dikehendaki: “yang dimurkai” dan “yang tersesat”. “Yang dimurkai” adalah orang-orang yang setelah benar-benar menyadari pesan Tuhan dan memahaminya, lantas menolaknya. Mereka itu optimal dalam berakal, sehingga mengerti hukum-Nya, tapi kehendak bebasnya justru mereka arahkan untuk menentang-Nya. Mereka tahu, tapi tidak mau.

Sedang “yang tersesat” adalah mereka yang berkemauan tinggi, tapi tanpa iringan pengetahuan yang memadai. Mereka itu mau, tapi tidak tahu.

Terus terkait “diri” yang diridai, kitab suci menjelaskan, “Siapa saja yang mentaati Allah dan Rasulnya, mereka akan bersama orang yang dianugerahi nikmat Allah yaitu: nabiyyin, shiddiqin, syuhada, dan shalihin.” (An-Nisa: 69).

Muhammad Zuhri, berdasar ayat tersebut, menggolongkan empat kasta dalam masyarakat yang aman kita rujuk sebagai jati diri: nabiyyin, shiddiqin, syuhada, dan shalihin.

Para nabi jelas, mereka itu dulu pribadi-pribadi terpilih dan terjaga. Dalam konteks kini, mereka adalah penata nilai atau perumus konsep-konsep di bidang agama, politik, sains, dan teknologi. Ibarat madu, mereka menjadi pengontrol stabilitas temperatur tubuh masyarakat.

Shiddiqin merupakan orang-orang yang tidak pernah menyimpang dari kebenaran. Mereka itu berperan sebagai dinamisator. Sebab kehadiran mereka sama artinya dengan percepatan proses sosialisasi kebenaran. Mereka adalah pribadi-pribadi yang berkepribadian luhur, yang memancarkan sifat-sifat mulia, sehingga menginspirasi orang lain untuk meniru sifat-sifat tersebut.

Shiddiqin ini tumbuh dari upaya menggarap diri menegakkan sifat-sifat baik yang dominan yang dimilikinya. Sifat pemaafnya, dermawannya, santunnya, dan lain sebagainya. Maka, ia akan bekerja, atau mengamalkan karakternya itu sepenuh cinta.

Selanjutnya syuhada, yakni orang-orang yang [dengan fungsi hidup mereka] menjadi saksi atas kebenaran. Kita paham, betapa setiap manusia memiliki fungsi sosialnya masing-masing, seperti seorang guru, ustaz, polisi, presiden, penulis, dan sebagainya. Nah, apakah setiap fungsi yang disandang seseorang dapat dijalankan dengan baik? Itulah.