Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Merumuskan Ego

Redaksi
×

Merumuskan Ego

Sebarkan artikel ini

Para nabi jelas, mereka itu dulu pribadi-pribadi terpilih dan terjaga. Dalam konteks kini, mereka adalah penata nilai atau perumus konsep-konsep di bidang agama, politik, sains, dan teknologi. Ibarat madu, mereka menjadi pengontrol stabilitas temperatur tubuh masyarakat.

Shiddiqin merupakan orang-orang yang tidak pernah menyimpang dari kebenaran. Mereka itu berperan sebagai dinamisator. Sebab kehadiran mereka sama artinya dengan percepatan proses sosialisasi kebenaran. Mereka adalah pribadi-pribadi yang berkepribadian luhur, yang memancarkan sifat-sifat mulia, sehingga menginspirasi orang lain untuk meniru sifat-sifat tersebut.

Shiddiqin ini tumbuh dari upaya menggarap diri menegakkan sifat-sifat baik yang dominan yang dimilikinya. Sifat pemaafnya, dermawannya, santunnya, dan lain sebagainya. Maka, ia akan bekerja, atau mengamalkan karakternya itu sepenuh cinta.

Selanjutnya syuhada, yakni orang-orang yang [dengan fungsi hidup mereka] menjadi saksi atas kebenaran. Kita paham, betapa setiap manusia memiliki fungsi sosialnya masing-masing, seperti seorang guru, ustaz, polisi, presiden, penulis, dan sebagainya. Nah, apakah setiap fungsi yang disandang seseorang dapat dijalankan dengan baik? Itulah.

Syuhada adalah penyandang nama baik profesinya atau fungsi sosialnya. Sehingga, bersama profesinya, sang pengabdi ini sanggup menumbuhkembangkan lingkungan. Ia menjadi saksi kebenaran atas fungsi yang disandang.

Kemudian, shalihin adalah orang-orang saleh. Ibarat air, orang-orang ini sangat dibutuhkan masyarakat. Tidak ada air, tidak akan ada kehidupan. Mereka bertindak sebagai fasilitator, penyuplai sarana. Merekalah kreator-kreator produktif yang menghidupi denyut kehidupan masyarakat.

Begitulah, akhirnya seiring daya akal beserta kehendak bebas, kita bisa saja menyalahgunakan fasilitas-fasilitas Tuhan, sehingga dimurkai-Nya. Atau pula kita bersemangat ibadah, tetapi tidak menurut peraturan-Nya, sehingga tersesat. Maka, rumusan ego mana yang kita kehendaki: yang beroleh nikmat, yang dimurkai, atau yang sesat?