Secara psikologis, mengakui kesalahan membuat diri kita tidak nyaman dan bisa sangat menyakitkan. Untuk bertanggungjawab dan meminta maaf, harga diri kita harus cukup kuat untuk menyerap ketidaknyamanan itu. Sebagai aturan praktis psikologis, semakin kaku mekanisme pertahanan seseorang, semakin rapuh ego yang mereka lindungi.
Maka, tak heran jika kita mungkin pernah menemukan orang yang salah, tetapi nyolot. Setelahnya, mereka juga enggan intropeksi dan mengakui kesalahannya tersebut.
Solusi Jika Kita Menemukan Orang Seperti Itu
Jika kita menemui orang seperti itu ada baiknya menerima perilakunya yang menyebalkan itu serta menyadari bahwa secara psikologis, mereka sendiri tidak mampu meminta maaf.
Terlebih, orang-orang seperti itu tidak akan berubah. Dengan menerima dapat membantu kita melepaskan diri dari argumen dengan mereka dan membantu diri sendiri dari perasaan frustasi, marah, dan sakit hati.
Atau bisa juga dengan membatasi interaksi dengan orang tersebut apabila rasa-rasanya, kita khawatir akan kembali tersakiti. Seperti penulis, Neil Strauss katakan bahwa kita perlu merawat luka untuk menyembuhkannya.
Maka, sebaiknya menghindari intensitas dengan orang yang pernah membuat kita terluka. Bukan karena kita kurang dewasa, namun tidak ada jaminan orang tersebut tidak kembali melukai, justru sebaliknya, bisa saja dia akan membuat luka sebelumnya kembali menganga.
Intinya, saat berbuat kesalahan, namun tidak adanya permintaan maaf, kita harus memahami bahwa orang tersebut orang dengan ego yang rapuh dan rasa diri yang lemah. Sebab, orang yang mengakui kesalahan dan meminta maaf pertanda mereka adalah berjiwa ksatria.
Meminta maaf bukan berarti kita menjadi lemah, akan tetapi pertanda bahwa diri ini mengakui kesalahannya dan menjadikan diri kita lebih baik di masa mendatang. [rif]