SUSPI melaporkan utang tersebut yang berdenominasi rupiah sebesar Rp9.992,87 Trilyun (71,87%) dan dalam valuta asing sebesar Rp3.910,44 Trilyun (28,13%). Dalam hal pemberi utang atau kreditur, terdiri dari pihak domestik sebesar Rp10.111,79 Trilyun (72,73%) dan dari pihak asing sebesar Rp3.791,53 Trilyun (27,27%).
Dalam hal jatuh tempo atau harus dilunasi, yang berjangka pendek sebesar Rp5.874,74 Trilyun (42,25%) dan yang berjangka panjang sebesar Rp8.028,57 Trilyun (57,75%). Jangka pendek menurut waktu sisa artinya yang memang ketika transaksi disepakati berjangka pendek (kurang dari setahun), ditambah yang berjangka panjang, namun waktu pelunasannya sudah kurang dari setahun.
Perlu diketahui bahwa sebagian utang berjangka pendek dimaksud berupa simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK) pada Bank BUMN. Dalam hal DPK berupa tabungan dan giro memang diperlakukan sebagai utang, namun memiliki karakteristik risiko yang berbeda dengan utang jangka pendek lainnya.
Utang Sektor Publik yang Terus Meningkat
Posisi utang sektor Publik cenderung meningkat secara nominal maupun rasionya atas PDB selama beberapa tahun terakhir. Terutama karena kenaikan utang Pemerintah dan utang BUMN. Tren itu terjadi sejak sebelum era pandemi. Dampak pandemi kemudian menambah laju peningkatannya.
Posisi USP hanya sebesar Rp5.780 Trilyun dengan rasio 54,68% atas PDB pada akhir tahun 2014, naik menjadi Rp1.011 Trilyun dengan rasio 63,87% pada akhir tahun 2019. Melonjak pada saat pandemi, menjadi Rp dengan rasio (2020) dan Rp13.450 Trilyun dengan rasio 79,26% (2021).
Posisi utang sektor publik pada akhir Juni 2022 sebesar Rp13,903 Trilyun juga dapat dhitung rasionya atas PDB. Rasionya atas PDB yang disetahunkan (mengikuti publikasi APBN Kita edisi Juli 2022) turun menjadi 77,21%. Namun dengan tambahan utang pada semester dua yang sedang berjalan, rasionya masih akan di kisaran 78-79% pada akhir tahun 2022 nanti.
Posisi dan rasio utang sektor publik akan menjadi lebih besar jika data seluruh BUMN dimasukan. Berdasar data akhir tahun 2021, penulis memprakirakan utang BUMN yang belum tercakup data SUSPI sekitar Rp850 triliun. Dengan memasukannya, maka utang sektor publik mencapai kisaran Rp14.300 trilliun pada akhir tahun 2021. Rasionya atas PDB menjadi sebesar 84,21%.

Risiko tertinggi tampak dihadapi oleh korporasi publik (BUMN) bukan lembaga keuangan yang posisi utangnya telah mencapai Rp1.149 Trilyun pada akhir Juni 2022. Porsinya yang berdenominasi valuta asing mencapai 66,54%, sedangkan yang berdenominasi rupiah hanya sebesar 33,46%. Yang bersifat utang luar negeri atau kepada pihak asing mencapai 58,36%, dan utang dalam negeri sebesar 41,64%.
