Scroll untuk baca artikel
Risalah

Mister Bagi

Redaksi
×

Mister Bagi

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COMISTER BAGI berjalan dari jalan utara alun-alun, jalan ke dan dari pasar, samping bioskop utara. Langkah lelaki parobaya hitam keling itu seperti kerbau dari kubangan. Berpakaian itu-itu juga, jas dasi kecoklatan lusuh dan tua. Saku jas dan pantolannya menggembung, tak lupa tas kulit tua tergerak seirama langkah. Lalu keranjang yang juga itu-itu juga, penuh belanjaan. Pandang senyumnya menyimpan misteri sejarah masa lalu, dengan klimis rambut menyisakan minyak goreng di kening dan pelipis. Dan sorot matanya, sekali lirik seperti tahu segalanya.

Alun-alun di siang hari kerontang, hanya beringin besar menaungi. Meski ada beberapa warung menyepi-nyepi, tapi cukup ramai di warung es bertutup bekas poster film India. Juga warung Yu, ramai saat jam makan siang bagi para tukang becak. Meski menunya itu-itu juga, sepiring nasi dengan lauk sambelgoreng tempe.

Melihat langkah Mister Bagi, Yu segera tahu, dan menggumam, “jam duabelas.” Seperti rutin ia menyapa, “mampir, Mister Bagi..!” Yang disapa melirik dengan lirik mata misterinya, menyahut rutin dengan Holand Spriken, “nein, nein…” Yu pun tertawa menggoda, “Ahh, Mister Bagi somse..!”

Rutin Mister Bagi menyahut, “Yey, yey..verveilen de krik-krak..siahh..!” Para tukang becak tertawa di antara medang teh poci udude srutu. Rutin pula Paimin menohok, “no itisen, Marjono katisen..!” Marjono hampir tersedak dalam suapan terakhir, “raimu, Min..no orengen, Paimin korengen..tambani nganggo lirang ben ora kedik bae..!” Yu tertawa terpingkal, membawa sebatang rokok untuk Sanut di biliknya. Tapi kemana dia, gumamnya, melihat pintu belakang tidak terpasok, “biasa.., bar madang merad..!”

Sanut ngloyor ke beringin besar di tengah alun-alun itu. Melompati buhul, meloncat sigap bagai kunyuk di antara batang-batang besar beringin. Di antara batang-batang berongga akar itu ternyata ada beberapa orang, bagai monyet meliang.

Di antara mereka ternyata para anggota kesenian Bodor Encle. Beberapa pemain dan penabun gamelan. “Ayo dadaran,” cetus Sanut, “lakon apa nanti malam.” Sambil mengambil rokok terselip di kuping Sanip ia melontar dadaran, “lakonnya, Mata-Mata Edan.”

Sanut kemudian mengungkapkan cerita sang lakon, tentang mata-mata di jaman penjajahan Belanda yang sengaja dibikin gila oleh Kompeni setelah VOC angkat kaki, supaya tidak membocorkan rahasia Kolonial. “Paham kabeh yah,” cetusnya, “ini lakon serius, gamelane lamparan, yang lucu-lucu bagian saya.” Kemudian putusnya, “saya mau lapor sama Sibu…” Mereka mengangguk-angguk kaya ketek ditulup, dan sigrak Sanut meloncat-locat turun dari beringin besar, bergegas ke arah warung Yu.


SEPERTI KEMARIN-KEMARIN Mister Bagi berbelok ke kiri, ke jalanan tanah samping bioskop selatan. Sampailah di satu rumah besar berhalaman luas berpager sari, ia mampir, beruluk dalam Holand Spriken. Seorang pria parobaya berpenampilan ningrat Jowo muncul, menyila Mister de Crik-Crak. Bersamaan itu Koko pulang sekolah, nyungkem eyangnya, tapi tidak ke Mister Verveilen.

Sambil menaruh tas dan membuka seragam Sekolah Rakyat, Koko seperti menghapal bahasa Belanda, dari obrolan Mister Bagi dan eyangnya. Tapi yang digumamkan selalu Kalimat itu, ‘no itisen Marjono katisen…’