Scroll untuk baca artikel
Blog

Mona, Bukan Monalisa – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Mona, Bukan Monalisa – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

Adakah sarapan pagi ala kampung, lima ribu sudah bikin puas. Aku puas, kamu puas, apalagi yang mesti kita cari. Hidup ini terlalu sederhana bagi penjual sarapan pagi, pekerja malam, atau saudara yang bergegas menjemput kerja siang hingga sore. Demi sarapan pagi, makan siang, hingga makan malam sambil ngobrol di pos ronda. Apakah kita akan berjaga hingga pagi, Mona.

Garis ngawur, dan warna kurangajar Basquiat masih kurang kuat. Kita tegaskan lagi dengan warna kontras dan gambar benda-benda demo: genderang, sepatu, tameng, pentungan. Batu dan kawat berduri. Kalau perlu ditambah kata-kata, seperti umpatanmu tentang penguasa.

* * *

KITA masih bertahan di sini, Mona. Di ruang antara mimpi dan kenyataan, air mineral dan kamarmandi. Kau heran mengapa aku terus berdiri, “seperti tugu muda saja,” katamu mengingatkan perang lima hari. Bukankah kita memang sedang bertempur, kuasa yang di pengadilan kolonial selalu memenangkan penguasa. Walau tampaknya juga tak menyalahkan rakyat, tapi kita belum kalah, Mona.
Tidak ada yang kalah di antara kita, meski pada gilirannya kau mengaku kalah. Itulah warna terakota yang aku torehkan, sebelum mengakhiri lukisanmu, lalu tandatangan di sudut kanvas. Selesai.

Aku pun mengaku kalah, di gudang yang aku jadikan studio. Dinding bata, 2X4, atap bocor, dan lukisan yang mesti dipindah ke lain hati. Terserah kalau kau mau pindah ke sanggar atau galeri, “kita tetap ngugemi hak dan tanggung jawab,” kilahmu. Melenggang gayamu bagai kuda setelah nggiwar di sabana, atau bersepedamotor tanpa celanadalam.

Ya, kita tetap bertahan di sini, di kampung yang dibilang kumuh. Rumah-rumah tanggul nyaris gusur, dan nelayan yang terpinggirkan. Kita tetap hidup di desa, tak seperti syair pengamen cilik itu: jangan pergi hari hujan, jangan pergi jadi urban. Kita tak menjelma urban seasion yang terbuang dari kota-kota besar menjelma kota dunia. Kita tetap setia hidup dan bekerja di desa, di tanah leluhur. Tapi tetap tergusur!
Aku menatap lukisan tentangmu.
Apakah engkau Monalisa, Mona…

Mengapa aku mesti melukismu dengan gaya Basquiat. Genre pop art yang menjadikan selera pop sedunia. Basquiat, Andy Warhol, inikah gayamu, yang menjadikan kota besar menjadi kota dunia, desa menjadi kota, dengan selera pop menghancurkan segalanya.

Aku pun tegak berdiri, serupa patung dalam peringatan perang melawan perang. Apakah aku harus menjelma Vincent van Gogh, merasa kalah oleh zaman, dan menembak kepala sendiri.
Tidak, aku mesti menembak dadamu…
Aku harus membakarmu!***

Banyumanik, 8 Oktober 2021