DEWASA ini sedang marak pentas monolog di berbagai kota. Di Surabaya baru ada monolog di Balai Pemuda. Kemudian masih dari Surabaya, telah bermonolog Dody Yan Masfa di Kaula Kopi Semarang 4 Maret. Di Semarang sendiri seni monolog kerap dipentaskan oleh siswa SLTA asuhan Alfi Yanto.
Di Jakarta kita mengenal nama monologer wanita seperti Herlina Syarifudin dan Dema Soetego. Di Tegal, kita mengenal monologer Apito Lahire, Apas Khafasy dan Retno Kusrini. Belum lagi nama-nama monologer di berbagai kota di Indonesia.
Apakah ini isyarat, politik di negeri ini tengah marak para politikus bermonolog. Terutama jelang pemilu 2024. Pertanyaannya, benarkah para politisi itu bermonolog, atau yang sesungguhnya terjadi sedang bermain drama sendirian. Sebagaimana syair lagu Kelompok Kampungan: orang-orang bermain drama|Politikus bermain drama.
Ya, semua bermain drama dengan pikiran besar mereka yang jauh melambung dari kenyataan rakyat. Pikiran besar yang terus dipertentangkan sesama pikiran besar. Peperangan kaum hedonis, yang masing masing bermain drama sendiri dengan pikiran besarnya sendiri.
Dalam monolognya, Dody memberi peringatan keras: kalian tidak pernah serius pada kebenaran, kalian tidak pernah sungguh sungguh pada kebaikan. “Kalian terus mengolok olok zaman dengan kemalasan dan kesombongan!”
Teks itu ia repetisikan, ia ulang-ulang bisikkan, katakan, dan teriakkan dalam monolog “Emak Gugat”. Berkostum daster lusuh, dengan klintingan di kaki, ia seolah pengunjung kafe yang datang di antara para pengunjung. Beberapa pengunjung muda sempat mengira, ia orang gila yang datang dan meracau di kafe.
Monolog Dody memang menggunakan seluruh ruang kafe sebagai ruang pertunjukannya. Di meja kursi seolah bicara dengan sepasang pengunjung. Kemudian ia sendiri yang mematikan semua lampu kafe. Dan dengan sinar batere yang digembolnya ia menjadikan sinar batere sebagai pencahayaan permainannya. Ia meracau di dapur bersama si owner. Sehingga dari luar dapur, permainan itu seperti berada di layar televisi.
Lalu ia juga ke kamar mandi, lalu memainkan layar pembatas dengan pencahayaan sinar batere. “Itulah kesombongan faksimili, kebohongan faktur, kemalasan fuck you..!” Pengunjung kafe bagai digedor-gedor kesadarannya akan satu keadaan atas kondisi politik-sosial-budaya yang nyata dihadapkan oleh cahaya hidup seorang monologer.
Kehadiran Dody di kafe adalah sebuah pertunjukan manusia dan kemanusiaan. Emak adalah jiwa dalam sosok gugat atas ketertindasan oleh struktur dan sistem. Dody yang menapaskan seorang emak mempertunjukkan diri sebagai manusi di tengah persoalan mendasar kemanusiaan.
Ia mungkin dianggap gila, tapi lebih gila mana dengan orang yang mempertunjukkan kekayaan kemewahan, mereka yang dengan pikiran semata materi pamer rumah dan barang mewah di tengah penderitaan. Mempertunjukkan infra struktur di tengah penderitaan.
Emak pun tetap pada jiwa ibunya, “jangan menangis,” ujarnya dengan suara sendet. “Jangan tertawa,” hujatnya pada pengunjung yang terus terdiam dalam pikiran masing-masing. Penonton tetap diam, seolah manekin manekin hidup, yang kalau merespon monolog ini akan jadi dramoi dialog.
“Jangan menangis, jangan tertawa,” sendu Emak. Sekaligus Jody seperti menyentak pikiran, mengapa kalian mengisi hidup dan kehidupan ini hanya dengan menangis dan tertawa. Alangkah lemahnya manusia di tengah era rekayasa genetika-chips-teknologi atas oligarki.*
Video selengkapnya: