Scroll untuk baca artikel
Blog

Monumen Keadilan – Cerpen Edhie Prayitno Ige

Redaksi
×

Monumen Keadilan – Cerpen Edhie Prayitno Ige

Sebarkan artikel ini

DI kampung Isar tinggal seorang koruptor yang tertangkap tangan dan sudah selesai menjalani sidang. Ia memang jagoan, peristiwa apapun selalu saja bisa mempergemuk pundi-pundi uangnya .

Ulahnya itu membuat warga menjadi geram. Mereka berdoa dan mengutuk agar sang koruptor cepat mati.

Berbeda dengan koruptor pada umumnya yang fokus menggasak uang negara, koruptor kita ini justru mampu mengkreasi banyak peraturan. Semakin banyak aturan semakin gemuk rekeningnya.

Ia bisa dengan ekspresi berjasa, mengeruk duit siapapun. Juga dari para pemulung dan pengemis.

Ia meyakini bahwa hidupnya itu adalah anugerah untuk menyelamatkan negara dari sifat kikir dan malas.

Manusia adalah serigala kata Thomas Hobbes. Hukum itu sesungguhnya hanya pertunjukkan saja. Peraturan itu sandiwara untuk menipu sejarah. Itu bukan infrastruktur peradaban,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa hukum hanya pilar kekuasaan untuk mengamankan keangkaraan kesewenang-wenangan penguasa dan menjadikan masyarakat beku dalam posisi sebagai abdi penguasa.

Pemikirannya itu ia unggah di semua platform akun media sosial. Ia mengkampanyekan bahwa hanya dengan korupsi saja yang akan mampu menghancurkan berhala bernama kekuasaan.

Yang membaca akhirnya takjub juga bingung pada komentarnya. Ia mengkloning gaya penguasa, menyampaikan isi pikirannya dalam akun  medsos dan mempromosikannya menggunakan uang hasil korupsinya.

Setidaknya saya adalah koruptor yang jujur. Yang mengakui menggunakan uang hasil korupsi untuk membiayai iklan ini. Bandingkan dengan yang berkuasa dan yang ambisius memperbesar kekuasaannya. Menggunakan apbd dan APBN untuk ngiklan. Itu kan bajingan,” tulisnya.

Konten itu  digeber obral seluruh medsos secara mencolok dan berseliweran di linimasa seluruh user media sosial. Seakan-akan tak ada kabar lain yang lebih layak dimakan rakyat.

Masyarakat terteror. Gelisah, resah, gerah.

”Ia sudah ditangkap dan diadili, tapi pernyataannya tak sedikit pun menunjukkan kegentaran. Tidak gentar dan seperti meyakini kala ia sudah disediakan lapak di surga. Mungkinkah sesungguhnya langkahnya yang benar? Melawan angkara murka dengan kriminal luar biasa?”

Pertanyaan terus mereproduksi diri. Dan lagi-lagi publik akhirnya hanya pasrah. Mereka terlalu sibuk dikeroyok masalah baru tiap hari.

Berpikir itu bukan maqam kami. Bekerja itulah fitrah kami. Hidup kami akan runyam habis kalau mesti ikut-ikutan pula memandang jauh ke depan, pada kehidupan yang belum ada. Mustahil, Bro!

Benar, silakan saja para dewa merangkai peta kehidupan yang harus kami tempuh. Biarlah kami yang jelata ini mengalir saja mengikuti arus dengan mengandalkan lekukan-lekukan bumi! Asal bisa hidup walau melata, kami sudah bahagia!” sahut lainnya.

Koruptor itu memang divonis mati. Waktu eksekusi makin dekat. Dan panggung dangdut juga sudah disiapkan untuk menyambut kematiannya.

Para pengusaha siap membagikan duit pada masyarakat miskin karena kematiannya otomatis menghentikan punglinya.

Tetapi tiba-tiba Presiden bermimpi didatangi seorang kakek. Ia mengingatkan agar hukuman mati dibatalkan.

Hukuman mati itu adalah warisan masa lalu. Ketika manusia masih primitif. Manusia yang berbudaya berhak menerapkan ganjaran hukuman seberat-beratnya bagi bromocorah. Tapi seberat-berat hukuman, manusia tidak memiliki hak mencabut nyawa manusia lain, apa pun alasannya. Itu hak prerogatifNya….”

Sejak mimpi itu, Presiden di sakit-sakitan. Keluarga dan orang dekatnya minta pembatalan hukuman mati pada koruptor kita itu.

Mimpi adalah permainan tidur, yang bisa diatur orang lain. Aku ingin menegakkan hukum,” kata Presiden tegas.