Scroll untuk baca artikel
Blog

Monumen Keadilan – Cerpen Edhie Prayitno Ige

Redaksi
×

Monumen Keadilan – Cerpen Edhie Prayitno Ige

Sebarkan artikel ini

Koruptor itu memang divonis mati. Waktu eksekusi makin dekat. Dan panggung dangdut juga sudah disiapkan untuk menyambut kematiannya.

Para pengusaha siap membagikan duit pada masyarakat miskin karena kematiannya otomatis menghentikan punglinya.

Tetapi tiba-tiba Presiden bermimpi didatangi seorang kakek. Ia mengingatkan agar hukuman mati dibatalkan.

Hukuman mati itu adalah warisan masa lalu. Ketika manusia masih primitif. Manusia yang berbudaya berhak menerapkan ganjaran hukuman seberat-beratnya bagi bromocorah. Tapi seberat-berat hukuman, manusia tidak memiliki hak mencabut nyawa manusia lain, apa pun alasannya. Itu hak prerogatifNya….”

Sejak mimpi itu, Presiden di sakit-sakitan. Keluarga dan orang dekatnya minta pembatalan hukuman mati pada koruptor kita itu.

Mimpi adalah permainan tidur, yang bisa diatur orang lain. Aku ingin menegakkan hukum,” kata Presiden tegas.

Karena eksekusi tak segera dilakukan, akhirnya presiden stress dan mati. Ia digantikan anaknya. Meski ia pernah menolak politik dinasti.

Ibu suri, bundanya sendiri mendapat giliran bermimpi yang ajaib. Karena mimpi itu seakan sambungan mimpi suaminya almarhum.

Orang tua yang datang ke dalam mimpi ayahandamu almarhum masuk ke mimpi ibu. Ia mengulang apa yang dikatakannya pada ayahmu. Kita boleh menghukum kejahatan seberat-beratnya, tetapi mencabut nyawa seseorang adalah hakNya. Atau ….

Presiden muda itu juga menolak mencabut hukuman mati.

Rakyat menginginkan orang yang sangat jahat itu mati. Karena, kalau dia masih hidup, akan menjadi inspirasi lahirnya koruptor baru,” kata presiden muda yang culun itu.

Rakyat bersorak gegap gempita. Pejuang HAM dengan dukungan berbagai kelompok dari luar negeri akhirnya menyerang sang Presiden. Penguasa itu dinobatkan sebagai si kurus yang haus darah.

Waktu eksekusi hukuman mati itu semakin dekat. Tiba-tiba sang koruptor kita itu membuat surat terbuka kepada penguasa.

”Yang terhormat bapak presiden. Dalam kacamata kekinian, perbuatan saya memang terkutuk. Sudah merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. Hukuman mati ini sebenarnya terlalu ringan untuk dosa saya. Seharusnya saya disiksa terlebih dahulu sampai mati. Tujuannya jelas, agar hukuman itu setara dengan kejahatan saya.

Saya mendorong panjenengan untuk tegas. Jangan maafkan saya. Saya khawatir generasi muda akan meniru. Karena betapa pun laknat dosanya, toh, akan dimaafkan! Jangan sampai ada anggapan ini.

Kutuklah saya masuk ke dalam neraka yang paling jahanam. Namun, plis deh jangan bawa keluarga saya. Sebab mereka adalah kertas putih yang belum bernoda.