Jadi sekali lagi, saya mendukung agar tak usah repot-repot memberi pengampunan agar saya terhindar dari hukuman mati.”
Membaca surat ini, Presiden langsung memberi respons. Ia tak peduli dengan tumpukan surat dari anak-anak papa, rakyat korban penambangan, orang-orang jompo, orang-orang yang dirampas dan dirampok tanahnya dan banyak lagi. Jumlah surat itu sendiri konon mencapai milyaran lembar karena memang tak pernah direspon.
Usai membaca, langsung pula dijawab. Tak butuh waktu lama.
”Membaca suratmu, saya simpulkan ditulis oleh hati nurani yang sudah sadar. Hukuman yang paling berat sebenarnya memang bukan kematian, tetapi rasa bersalah yang mendalam. Maka dengan ini, aku perintahkan agar Yang Mulia Para Hakim, yang sudah menetapkan hukuman mati padamu, aku minta mencabut kembali hukumannya. Aku membebaskan kamu untuk kembali ke masyarakat, sebagai kesempatan merasakan kesalahan serta sesal dan kepedihanmu seumur hidup. Itulah hukuman yang aku anggap lebih pantas untuk menyiksamu.
Tujuannya jelas, kesakitan orang lain oleh perbuatanmu akan balik menghajarmu bagai bumerang. Kamu harus menikmati karma-palamu! Digerogoti, dicabik-cabik, diiris-iris, agar batinmu perlahan membusuk setiap hari sambil kau rasakan perihnya!”
Lagi-lagi seluruh negeri bergejolak. Jagad media sosial lebih gaduh lagi. Rakyat meradang karena merasa itu tidak adil.
Keputusan itu adalah perintah. Siapa berani membantah? Maka, eksekusi dibatalkan.
Sang koruptor kita menyambut dengan gegap gempita . Ia ambil handphone yang diberi oleh pengusaha tambang bukit karst, mengumumkan keputusan presiden yang akhirnya membuat penjahat kelas receh menjadi iri. Juga para koruptor receh ikut iri.
Baginda yang membuat seluruh penghuni lapas setengah mati iri dan keki. Media sosial mengaum di seluruh negeri dengan berbagai cara.
”Rakyat jelata yang bodoh, awam, miskin boleh tertipu seratus kali dan masih layak dimaafkan karena kekonyolannya itu akibat keterbatasannya. Tapi seorang pejabat yang memangku nasib berjuta-juta rakyat, satu kata, satu langkah saja keliru, negeri bisa hancur lebur dan malu!”
”Inilah akibat terbiasa mengukur keadilan dari kelompoknya sendiri.”
”Inilah bukti kebodohan dimanjakan, belas kasihan diberhalakan, rakyat jadi korban!”
Saat pembebasan tiba, sang Koruptor kita mengadakan pesta perpisahan dengan kroni-kroninya. Kepada mereka, ia janjikan segala balas jasa bagi yang sudah memanjakannya selama di penjara.
”Jika ada yang belum kebagian proyek, bilang saja biar aku bereskan,” katanya di hadapan para pejabat, petugas dan teman-temannya.