BARISAN.CO – Beberapa minggu lalu seorang pemuda di Batuceper Tangerang jelas tak bisa tidur nyenyak. Ia diburu polisi lantaran dianggap menghina simbol negara lewat media mural “Jokowi 404: Not Found” yang digambarnya.
Hari-hari ini pemuda tersebut boleh lega. Polisi tak lagi mengejarnya karena tak menemukan unsur pidana pada mural bikinannya. Barangkali polisi juga sudah tahu bahwa mural adalah kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi, dan Presiden bukanlah simbol negara seperti mereka sempat kira.
Tapi mural di Batuceper itu dihapus oleh aparat dengan cat hitam. Sikap aparat ini dianggap reaksioner oleh banyak pihak. Dan, barangkali inilah yang membuat para seniman mural di Indonesia merasa sentimental.
Kini, tiba-tiba banyak mural kritis bermunculan di berbagai kota. “Batuceper Gate” seolah menjadi pemicu para seniman menabuh genderang perang melawan rezim. Di sebuah tembok di Yogyakarta, misalnya, 21 Agustus kemarin, muncul mural bertuliskan “DIBUNGKAM”. Bagaimana nasib mural itu? Tak menunggu 24 jam bagi aparat untuk menghapusnya.
Fenomena kucing-kucingan antara seniman mural dengan aparat pun menjadi marak sekarang. Malam seniman melukis, pagi dihapus polisi. Seniman bergerilya mengkritik pada saat hari petang, aparat membungkam lewat razia esoknya.
Tak perlu terkejut. Terhambatnya kebebasan berpendapat oleh aparat memang menunjukan gelagat memburuk dalam 3 tahun terakhir. Hal tersebut bisa dilihat dari Indeks Demokrasi yang dirilis BPS.
Penurunan yang konsisten tentu saja mengisyaratkan bahwa pemerintah keliru (dan terbukti salah kaprah) dalam memanfaatkan alat negara seperti aparat kepolisian selama ini.
Merosotnya kebebasan berpendapat paralel dengan banyak kebebasan lain, terutama kebebasan sipil dan kebebasan akademik. Hal ini disampaikan oleh peneliti LP3ES, Herlambang P Wiratman, dalam sebuah webinar yang diselenggarakan LP3ES, Kamis (19/8/2021) pekan lalu.
Merosotnya kebebasan telah semakin sistematik dilihat dari sisi manapun. Dalam konteks kebebasan akademik, dapat dilihat dari banyaknya mahasiswa yang dikenai sanksi oleh kampus berupa skorsing karena kedapatan mengkritik pemerintah.
“Tren kebebasan akademik makin memburuk pada periode kedua Jokowi,” kata Herlambang.
Herlambang misalnya merujuk pada isu revisi UU KPK. Pada saat UU tersebut ramai disorot, ribuan akademikus yang menyuarakan penolakan menjadi target penyerangan dan persekusi. Mahasiswa yang turut menyuarakan ketidaksetujuannya pun ikut ditangkap, menjadi korban kekerasan, dan beberapa terbunuh oleh timah panas aparat.