Scroll untuk baca artikel
Blog

Mulai dari Agamawan, Akademikus, hingga Seniman: Bagaimana Rezim Memusuhi Semua Pihak

Redaksi
×

Mulai dari Agamawan, Akademikus, hingga Seniman: Bagaimana Rezim Memusuhi Semua Pihak

Sebarkan artikel ini
Apapun Masalahnya, Security Approach Solusinya

Tanpa harus menjadi pengamat dan cukup hanya dengan melihat kecenderungan situasi saja, kita, masyarakat awam, bisa menyimpulkan bahwa ada tendensi pemerintah untuk menggunakan security approach apapun masalahnya.

Dalam satu artikel Kompas (24/9/1999) berjudul “Undang-Undang Keselamatan Rakyat”, Ignas Kleden pernah secara cermat membahas tentang betapa salahnya bila negara memakai security approach sebagai solusi segala permasalahan politik.

Menurutnya, pendekatan keamanan hanya hemat dan efektif secara teknis, tetapi mahal dan boros secara politis. Hemat dan efektif karena orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah dapat ditahan secara sepihak, ditangkap, diculik, atau dianiaya tanpa proses pengadilan yang semestinya. Tidak butuh banyak waktu dan tenaga mengatasi konflik politik. Perbedaan dianggap sebagai kejahatan dan menentang pemerintah diangap sebagai tindak kriminal.

Pendekatan ini menjadi mahal dan boros secara politik karena hanya akan menekan dan mematikan berbagai sumber daya politik. Proses belajar hampir tidak dimungkinkan. Tidak banyak kesempatan untuk mengalami dan mempelajari bagaimana perbedaan pendapat diselesaikan melalui wacana yang cerdas dan negosiasi yang rasional—dan tidak harus dengan tekanan kekerasan.

‘Memusuhi’ Semua Pihak

Pendekatan keamanan telah dengan sempurna membalik asas-asas demokrasi di Indonesia. Masyarakat yang seharusnya memegang kedaulatan tertinggi lewat kewenangannya mengawasi pihak berkuasa (social control), justru diawasi oleh negara (state control).

Bukan hanya seniman mural dan mahasiswa yang menjadi objek pengawasan negara. Ditarik mundur ke belakang, kita juga bisa menemukan bagaimana agamawan seperti Habib Rizieq Shihab ‘dimusuhi’ lewat kasus hukum yang kelihatannya mengada-ada.

Masyarakat adat pun tak luput dimusuhi negara. Tepat hari ini setahun yang lalu (26/8/2020), Polda Kalimantan Tengah menangkap Ketua Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing, tanpa alasan yang jelas. Kita mengenal Buhing sebagai tokoh yang getol menolak pembabatan hutan adat yang dirampas oleh PT Sawit Mandiri Lestari (SML). Kita tahu pula bahwa pemerintah gila sawit.

Adakah yang lolos dari bara permusuhan negara? Bagaimana dengan jurnalis? Pada tahun 2020, LBH Pers melaporkan ada sebanyak 76 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan aktor dari korps Bhayangkara; 2 kasus datang dari jaksa dan TNI; 12 kasus datang dari aktor yang tidak diketahui asal-usulnya.

Ada baiknya pemerintah menghentikan kegemarannya memakai pendekatan keamanan. Mengkriminalisasi para pengkritik yang punya pandangan berbeda hanya akan mematikan demokratisasi. Bentuk kritik, sekalipun tidak ideal, mestinya disempurnakan dan bukan dimatikan.