Scroll untuk baca artikel
Blog

Mutiara di Tengah Kubangan Lumpur

Redaksi
×

Mutiara di Tengah Kubangan Lumpur

Sebarkan artikel ini

“Beraninya kamu!” ujar Pak Sastro mencincing sarungnya menghampiri Pak Wiro untuk menantang berkelahi.

“Sudah … sudah. Saudara- saudara sekalian mohon bersabar. Pak Wiro, kami di sini sedang beribadah mencari pahala seperti halnya Bapak mencari penghasilan. Maka, apa kami tidak diperbolehkan untuk mencari sesuatu penghidupan seperti halnya Bapak. Meskipun berbeda caranya. Jika Bapak terganggu dengan suara corong surau, maka kami mohon maaf. Dan nanti akan dikecilkan suaranya. Tetapi apakah anda juga tidak merasa mengganggu orang lain yang bisa saja tidak berkenan dengan pengeras suara dari tempat Bapak? Corong surau itu untuk mengundang orang agar mau datang beribadah, seperti halnya pengeras suara karaoke ditempat Bapak. Bukankah begitu, paham?” Pak Ahmad mencoba menasihati secara santun.

“Ya, sudah. Kamu itu malah ceramah di depanku,” kata Pak Wiro jengkel dan berjalan pulang tak menjawab balik pertanyaan Pak Ahmad.

Setelah agak jauh berjalan dari surau itu, Pak Sastro berujar,”Hei, Wiro! Kamu kalau berani mengganggu orang beribadah, aku akan menghadapimu!” kata Pak Sastro sambil mengancam.

“Sabar, Pak Sastro. Kita harus sabar menghadapi hal seperti ini. Kekerasan tidak selalu diselesaikan dengan kekerasan pula, melainkan juga dengan kelembutan. Rasulullah mendakwahkan islam itu dengan cara santun. Jika dengan kekerasan, maka islam tidak akan diterima oleh umat. Terkecuali jika memang umat ditindas oleh orang kafir dan zalim, maka kita pun diperintahkan untuk secara keras menghadapinya. Itu pun dengan pertimbangan sisi manusiawi. Maka kita harus sabar tawakal dalam berdakwah, serta tetap berdoa memohon kemudahan atas jalan-Nya. Mari kita salat, ayo!” ujar Pak Ahmad menasihati.

* * *

Sejak kejadian pagi itu, Pak Wiro tak henti-henti ngomel di rumahnya.

“Sialan si Sastro itu, malah ngajak ribut sama aku,” gumam Pak Wiro sambil meminum segelas Wisky, “kalau saja dia bukan mantan kepala bandit, sudah aku sobek-sobek mulutnya.”

Terbersit sebuah pikiran jahat dalam kepala Pak Wiro. Dia berencana untuk meletakkan kotoran manusia di depan pintu surau, untuk memberi pelajaran bagi para jama’ah. Dan dia pun meletakkannya pada malam hari ketika semua orang tertidur lelap.

Sementara waktu subuh telah datang, Pak Ahmad beserta Jalil telah sampai di depan pintu surau. Tak ayal terkejut dengan apa yang dilihatnya, Jalil pun berujar geram, “Kurang ajar orang yang meletakkan kotoran ini di depan surau! Semoga dibalas oleh Yang Maha Kuasa!”

“Sabar, Jalil. Cukup bersihkan saja dan cepatlah sebelum yang lainnya pada datang, terutama Pak Sastro!” kata Pak Ahmad.

“Baik, Pak. Ini kalau ketemu Pak Sastro malah nanti jadi ribut ya, Pak?”

Jalil pun segera membersihkan kotoran itu. Tanpa memberitahu yang lainnya akan apa yang terjadi sampai usai salat.

Tuhan memang Maha Adil. Setelah kejadian itu, Pak Wiro merasa kurang sehat. Ia tak bisa buang air besar selama seminggu sehingga perutnya membesar. Berbagai cara dan obat-obatan telah diminum. Namun tidak membuahkan hasil selain semakin menambah sakit.

Dia ingat apa yang telah dilakukannya seminggu lalu terhadap surau di kampung itu. Kemudian dipanggillah salah seorang wanita anak asuhnya untuk mengantarkan ke rumah Pak Ahmad.

“Assalamualaikum, Pak Ahmad saya Wiro. Tolong saya, Pak?”

“Waalaikum salam, Pak Wiro apa yang terjadi? Kenapa Bapak duduk di lantai depan rumah saya? Dan kenapa dengan perut Bapak?” tanya Pak Ahmad terkejut.

“Ampun, maaf, Pak. Saya ngaku salah karena telah meletakkan kotoran manusia di depan pintu surau seminggu lalu. Sehingga saya jadi begini. Apa yang harus saya perbuat agar bisa sembuh dari sakit perut ini?” ujar Pak Wiro menghiba menceritakan awal sakitnya.