BARISAN.CO – Belum lama ini, seorang mahasiswi berinisial L dari Universitas Riau buka suara. Ia mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsinya.
Terduga pelaku merupakan Dekan Fakultas FISIP Universitas Rian bernama Syafri Harto. L mengaku saat menyerahkan proposal skripsi, ia dicium pipi serta keningnya oleh pelaku.
Menurut L, pelaku menerornya dengan menggunakan nomor baru. Pelaku juga menghubungi keluarganya dan menjelaskan ciuman tersebut sebagai bentuk kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
Dalam akun Youtube Najwa Shihab, pengacara penyintas pelecehan seksual di UNRI, Rian Sibarani mengatakan kondisi penyintas masih dalam tahap pemulihan dan menenangkan diri.
Rian juga menyebut penyintas masih tertekan atas insiden yang terjadi dan adanya ancaman kriminalisasi.
“Jadi pikiran penyintas saat ini berkecamuk. Antara kekerasan seksualnya akan terungkap atau diri penyintas yang akan disalahkan terkait dengan kasus ini,” kata Rian, Kamis (11/11/2021).
L merupakan salah satu contoh banyaknya korban yang pada akhirnya memilih bungkam. Tak mengherankan jika survei The Atlantic tahun 2018 menemukan lebih dari 45 persen mahasiswi tetap diam tentang serangan seksual yang dialami.
Sementara itu, hanya 2,6 persen dari korban pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan melaporkannya kepada pihak berwenang.
Keberanian L mengungkapkan insiden yang dialaminya patut diapresiasi. Sebab, banyak penyintas yang enggan melaporkan kasusnya. Salah satu penyebabnya ialah tidak ingin keluarga atau temannya mengetahui.
Terkadang seorang penyintas pelecehan seksual tidak memikirkan dirinya sendiri melainkan orang lain. Bagaimana jika orang tua atau temannya tahu? Terlebih, rape culture menyalahkan korban. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Penyintas yang enggan melaporkan juga khawatir akan pembalasan. L pun mengalaminya. Ia dilaporkan balik oleh pelaku atas tuduhan pencemaran nama baik.
Pemendikbud No 30 Tahun 2021
Kejadian di UNRI seharusnya dapat membuka mata publik tentang pentingnya Pemendikbud No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Sayangnya, Permendikbud PPKS itu menuai banyak kecaman karena dianggap mendukung seks bebas.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makariem dalam acara Mata Najwa itu menyebut jika dirinya tidak bisa menerima tudingan tersebut. Ia mengangap itu fitnah terhadapnya.
Mantan bos Gojek ini menganggap Permendikbud PPKS menjadi langkah awal yang penting untuk menangani kekerasan seksual di kampus.
“Karena situasinya sudah gawat darurat. Itulah alasannya kita mengeluarkan Permen Kekerasan Seksual. Dimana-mana sudah terjadi, kita perlu peraturan,” tutur Nadiem kepada Najwa Shihab.
Kemudian, Nadiem menjelaskan dalam Permendikbud PPKS tersebut terdapat tiga esensi utama. Pertama, adanya satu unit satgas yang bertanggung jawab melakukan pelaporan pemulihan, perlindungan, dan monitoring rekomendasi sanksi.
“Kedua adalah penjabaran. Untuk pertama kalinya, di Indonesia kita ada definisi sampai sangat spesifik. Dua puluh perilaku yang dimasukkan ke dalam kategori kekerasan seksual,” ujar Nadiem.
Ia menambahkan bukan hanya kategori kekerasan fisik, tetapi juga verbal, bahkan secara digital.
“Ini adalah inovasi terbesarnya. Sudah tidak ada lagi tuh abu-abu lagi. Ga bisa ngumpet,” tambah Nadiem.
Terakhir, Nadiem menyebut poin ini sangat penting karena seluruh civitas akademik berpartisipasi di dalam prosesnya.
“Jadi, itu adalah tiga inovasi dari Permendikbud ini yang banyak dirayakan oleh teman-teman BEM semuanya. Sangat bersemangat dengan inisiatif ini. Karena pertama kalinya ada kerangka hukumnya yang jelas,” papar Nadiem.