PERCAKAPAN Nakula dan Sadewa, kali ini seperti tidak ada bedanya cerita Sariyem dan Sri. Entah karena kesaktian mereka mulai memudar, atau memang mereka baru sadar, kalau peradaban ini semakin samar.
“Nakula, kenapa negeri kita makin panas?”
“Entah Sadewa, aku juga sering berpikir begitu.”
Jalan-jalan yang mereka lalui bertaburan sampah dimana-mana. Apa karena manusia mulai kehilangan rasa cinta. Keduanya pasti mengatakan:”entah!”
“Apa karena politik selalu saja berubah?”
“Entah, Sadewa, mungkin saja begitu.”
Apa yang membuat orang pada saat-saat ini terdorong oleh sebuah perilaku sosial yang sedikit mengesampingkan akar kultural etika? Etika ini bukan hanya perwujudan budaya lama, tetapi dalam pelbagai disiplin ilmu menjadi entitas (wujud) dari peradaban manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki nilai. Pemikiran kapitalis akan mendorong manusia menjadi kekuatan kapitalisme. Entitas (wujud) manusia adalah keterbatasan hakiki dalam cermin agama, sebagai manusia yang diciptakan.
“Tapi menurutmu bagaimana Sadewa, apakah karena orang-orang itu mulai kehilangan nalar sehat. Atau karena mereka sudah mulai kehilangan etika?”
“Entah Nakula. Kita ini turunan dewa. Tidak hidup seperti mereka. Wujud kita beda. Apa yang kita makan tidak seperti yang mereka makan.”
Segala wujud yang tak mampu menciptakan kekuatan -yang tanpa sebab akibat- maka bukanlah sebuah legitimasi kesempurnaan. Dalam konsep agama, pemikiran kapitalis akan merusak entitas manusia sebagai makhluk yang beradab. Karena dalam konsep agama, seyogyanya hubungan manusia tidak terbatas hanya pada manusia dengan Tuhan, atau manusia dengan manusia. Tetapi lebih dari itu, hubungan manusia dengan lingkungan (peradaban).
“Lantas bagaimana pendapatmu Sadewa, bukankah mereka orang yang beragama. Seharusnya mereka tahu tentang kebaikan.”
“Entah Nakula, mungkin bagi mereka, agama itu hanya identitas yang melekat pada dirinya. Bagaimana pun juga sebuah kebenaran tidak selalu menjadi sebuah keyakinan.”
Jika agama, sebuah keyakinan yang utuh atas dasar kebenaran yang dipercayai oleh jiwa dan raga manusia, maka tidak ada dimensi kekuasaan yang berdiri sendiri pada manusia. Lalu pertanyaannya, apa yang mendorong manusia untuk berpikir besar seolah-olah ingin melebihi dari sang Pencipta-Nya? Konteks ini bukan untuk menggiring pertentangan batin dan pikiran, sehingga apa yang tidak tampak secara kasat mata, itu adalah wilayah di luar kuasa manusia.