Scroll untuk baca artikel
Blog

Nakula Menjadi Entitas Peradaban – Cerpen Vito Prasetyo

Redaksi
×

Nakula Menjadi Entitas Peradaban – Cerpen Vito Prasetyo

Sebarkan artikel ini

   “Entah Nakula, sepertinya pandemi itu juga sudah hidup dalam pikiran mereka. Mungkin itu jadi penyakit. Tetapi bisa jadi juga itu sebuah cobaan. Cobaan yang diyakini sebagai sesuatu yang mempengaruhi hidup di peradaban samar.”

Virus Corona berjalan dengan kaki dan tangannya, tanpa takut siapa itu manusia yang mampu membangun kapitalis. Dan manusia pun, dimana-mana atas nama bangsa dan negara, berperang melawan virus ini. Sebuah pertempuran yang begitu dashyat hingga sudah memakan ribuan orang meninggal. Siapa yang menjadi panglima perang atau pemimpin bagi manusia? Jika pada garis depan, pasti berbaris dengan sekuat tenaga para tim medis dan relawan. Bisa jadi, perang ini menjadi perang yang “paling istimewa” bagi manusia.

   “Nakula, apa kamu ingat waktu perang baratayudha?”

   “Masih Sadewa, tapi itu sekarang hanya jadi cerita fiksi. Entah, karena perang itu berkesan atau mungkin juga perang itu hanya cerita dari mulut ke mulut. Kalau sekarang bisa jadi hoaks.”

   “Masa kita dulu, mungkin hanya ilusi dan khayalan, Nakula. Kita tidak mengenal teknologi, seperti sekarang.”

   “Entah Sadewa, tapi teknologi kita melebihi awan di langit. Artinya, mungkin kita jadi pencetusnya.”

Kekuasaan, sepertinya sudah bermakna “didewakan”, meski kita sendiri lebih suka disebut bermartabat dalam kodrat manusiawi. Bagaimana meraba konsep “dewa” pada zaman yang telah maju dan dikatakan zaman di atasnya modern. Para ahli, ilmuwan dan pakar menyebut dengan era yang sudah masuk era globalisasi. Semua instrumen banyak dikendalikan oleh alih teknologi. Nalar dan logika manusia seakan mampu menembus langit, hingga dalam kekuasaannya menjadi “seolah-olah seperti Tuhan”.

Konstelasi pemikiran manusia seperti “dewa” yang turun dari langit, kemudian membentuk kekuatan yang melibatkan orang banyak untuk membantunya. Membangun sebuah dinasti, apa yang disebut sebagai kapitalisme.

Jika pada cerita ini, Nakula dan Sadewa mencoba bergayung-sambut untuk mengingatkan catatan hampir dua tahun lalu, maka tidak ada salahnya pandemi covid-19 menjadi kilas balik. Hingga kemudian masa kini, muncul dengan pengertian baru, serta keterangan-keterangan lainnya yang berada dalam lingkaran kapitalisme. Meski ini, dengan gaya bahasa rekayasa yang menghaluskan makna tersebut, karena dampaknya sangat luas (global).

   “Sebaiknya, kita pergi dari bumi, Sadewa.”

   “Betul Nakula, dimensi kita bukan disini.”

Kita baru sadar, bahwa ada dimensi ruang yang tak mampu dijangkau manusia secara cepat dan dengan keterbatasan “kasat mata”. Pandemi Covid-19, bukanlah barang gaib, bukan dewa yang muncul begitu saja tanpa sebab akibat. Maka ketika wilayah Wuhan di China terserang wabah ini, semua “mata dunia” seakan terbuka lebar dan peran nalar logika manusia menjadi terbatas (sempit). Dimana-mana muncul rasa ketakutan, cemas, panik hingga entitas manusia seperti kehilangan kekuasaannya.

Dalil pembenaran pikiran manusia menghadapi ujian dan cobaan. Dimana kita harus mencari perlindungan!? Semua bangkit untuk mencari dimanakah sejatinya yang dikatakan Tuhan sebagai tempat berlindung, meski hanya dalam wujud doa.

Ketika di sebagian penjuru dunia mencari penangkal untuk mendapatkan anti virus ini, wabah Covid-19 terus bergerak mencari korban. Tidak pandang bulu, garis depan yang berjuang untuk menyembuhkan orang lain juga menjadi korban.Di antara kita, melihat bencana ini mulai kehilangan nalar, mulai goyah dengan apa yang dititipkan sebagai amanat orang beragama (mengenal Tuhan). Prinsip humanisme (kemanusiaan) tidak lagi dianggap dalil untuk memanusiakan manusia.