GARA-GARA para kepala desa se Indonesia berdemonstrasi meminta perpanjangan masa jabatan 9 tahun, kecurigaan adanya kekuatan-kekuatan politik yang masih menginginkan ide perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 kali dan penundaan pemilu, menjadi semakin menguat. Ditengarai anasir-anasir pro kekuasaan masih terus bergerilya guna menggoalkan ide sesat tersebut.
Hal itu di atas menjadi fokus bahasan dalam diskusi publik LP3ES dan Big Data Continuum pada Minggu (05/02/2023).
Dr Wijayanto, salah seorang direktur LP3ES pada diskusi tersebut menguraikan hasil telisik data perbincangan publik di ranah digital oleh Continuum Big Data, terungkap bahwa usulan perpanjangan masa jabatan lurah menjadi 9 tahun telah ditolak mentah-mentah oleh publik dengan 95,7% sentimen negatif.
Sekitar 35,8% warga masyarakat dominan beranggapan bahwa isu perpanjangan masa jabatan kades adalah kedok bagi wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 kali. Sementara sosok yang dianggap paling disorot publik dengan isu penundaan pemilu adalah Presiden Jokowi dengan 92,13% perbincangan. Kedua, Muhaimin Iskandar (3,62%), Zulkifli Hasan (3,53%) dan Mahfud MD (0,72%).
Ihwal “Politik Dinasti” juga disorot dengan temuan teratas masalah statement: “Dulu menolak tapi sekarang menyambut (44,9%), Politik Dinasti membahayakan demokrasi (4,5%) dan Muncul karena Kaesang terjun ke politik (3,8%)”.
Sosok yang paling sering dikaitkan dengan tersebut adalah Joko Widodo (2,70%), Kaesang (1,35%) dan Gibran (1,34%). Sementara peran KPU yang menurun kredibilitasnya menjadi sorotan cukup negatif oleh warga masyarakat dengan (37,2%).
Masyarakat juga meminta Jokowi dan DKPP menindak tegas KPU dan jangan saling melindungi.
Hal yang tak kalah menarik dipaparkan oleh Abdul Hamid (Gus Hamid), pimpinan LP3ES sekarang yang juga menjadi pembicara. Gus Hamid menyatakan bersyukur atas data-data yang disampaikan Dr Wijayanto tentang penolakan mayoritas masyarakat terhadap wacana perpanjangan 9 tahun untuk masa jabatan para lurah.
“Hal itu menandakan bahwa mayoritas masyarakat kita masih berpikir jernih dengan pentingnya membangun demokrasi sehingga mereka menolak ide 3 periode dan penundaan pemilu,” tutur Gus Hamid.
Namun, Gus Hamid juga menyatakan amat prihatin dengan apa yang disampaikan Prof Dr Didik J Rachbini tentang Negara telah berubah menjadi horor dengan terbangunnya iklim ketakutan di tengah masyarakat.
Sinyalemen tersebut dibuktikan oleh survei Syaiful Mujani perihal angka prosentase ketakutan untuk bicara politik di tengah masyarakat yang meningkat menjadi 50 % pada 2021-2022 ketimbang hanya 16% pada 2014. Juga ketakutan untuk berorganisasi. Hal itu menyebabkan negara tidak lagi kondusif bagi perkembangan demokrasi ke depan.
Lebih lanjut Gus Hamid juga memaparkan 3 (tiga) unsur penting yakni Negara, parpol, masyarakat (termasuk media). Tetapi yang menjadi masalah, saat ini Negara atau eksekutif telah melakukan kolusi dengan legislatif di mana ditengarai 82 % anggota parlemen adalah mereka yang pro kekuasaan. Jika demikian halnya maka negara telah berubah menjadi Negara Partitokrasi.
Sebuah tatanan politik yang mengatasnamakan demokrasi, tetapi pada praktiknya parpol menjadi pemain utama dengan melakukan penetrasi di berbagai lembaga negara dan publik.
Negara demokrasi yang dibelakangnya adalah kekuatan oligarki bisnis dan oligarki kepartaian. Maka dengan demikian negara tidak lagi independen. Negara diperkirakan tidak lagi bisa melakukan tugas etisnya.
“Misalnya tanggungjawab etis dari negara dalam hal membangun kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, menghilangkan suasana horor dan lain-lain yang merupakan tugas etis suatu negara. Tetapi itu semua menjadi hilang jika negara sudah masuk ke dalam pola Partitokratisme, di mana oligarki yang mengendalikan negara atau Negara telah mengubah dirinya menjadi instrument oligarki,” tandas Gus Hamid yang menggantikan Prof Didik J Rachbini sebagai Ketua Dewan Pengurus LP3ES.