Scroll untuk baca artikel
Blog

Niscala

Redaksi
×

Niscala

Sebarkan artikel ini

“Ini Pak, uangnya. Di bawa aja korannya, tidak usah di bayar. Sebab saya lagi ngak punya uang kembalian”.

“Ya..udah kalau gitu, ini terima uangnya. Tidak perlu ada kembalian, buat kamu aja”.

Terima kasih pak, semoga lancar perjalannya. Secara mengejutkan, ketika hendak berjalan menuju trotoar Nasya terserempet mobil iring-iringan Gurbernur yang lagi lewat. Ia sebenarnya tahu akan suara sirene tersebut. Nasya terkapar, raut wajahnya yang putih kini berlumuran warna merah pekat.

Nasya tidak sadar diri, beruntung saja ditempat kejadian ada pos ojek. Melihat keadaan semacam itu, salah satu pengendara ojek melarikan Nasya ke rumah sakit terdekat. Andik sangat dekat dengan Nasya, sama-sama mencari uang di jalannan. Sehabis mengantarkannya, Andik segera pergi tempat dimana kampung Nasya tinggal. Karena ia pernah sekali mengantarkan pulang.

Ibu itupun terkejut mendengar berita tersebut. Andikpun segera menacap gas montornya. Sebab di rumah sakit, membutuhkan administrasi pendaftaran dari pihak keluarga. Ia melihat anak semata wayang tidak berdaya. Ya…Allah, berikan jalan terbaikmu, ucap ibu.

Selang beberapa waktu dokter, keluar dari ruang unit gawat darurat. Bagaimana dokter keadaan anak saya. Dengan menghela nafas, dan seakan tidak ingin mengucapkan. Dokter itu beberpa patah kata memberikan nasehat dan saran. Ia pun terkejut, mendengar ucapan dokter.

“Apa anakku, patah kaki dan ia tidak bisa berjalan,” air mata ibu ingin membanjiri rumah sakit. Ia ingin masuk ke ruangan anaknya, tapi suster belum bisa mengizinkannya.

Ini bukan takdir, ini hanya cobaan bagi mereka yang ingin memperjuangkan suatu kearifan. Selain menjadi mandiri untuk diri sendiri, bisa memberikan manfaat kepada orang lain.

Diatas kursi roda Nasya hanya bisa memandang rumah bacanya yang makin ramai dan banyak program kegiatan yang ia rancang. Ibunya mendorng kursi roda itu, mengajaknya memutari halaman rumah dan air matanya seakan ingin keluar. Tapi ia menahannya, anaknya yang begitu tegar, kenapa aku menjadi cengeng, kata ibu.

* * *

Anakku kau pernah menanyakan kenapa ibu tidak memasukan kamu ke sekolahan. Sungguh engkau telah menjawabnya, hingga engkau berkeinginan untuk mendirikan sekolah. Ibu tidak ingin melihatmu bermimpi dalam ruangan sekolah. Namun bermimpilah melihat orang-orang yang engkau temui.

Terima kasih wahai engkau ibu tercinta. Karena engkau aku tetap tegar dan siap mengarungi bahtera keluarga dan kelam dunia. Meski ada kekurangan dari diriku, namun aku tunjukkan kelebihanku. Pada akhirnya kelebihan itu menutupi kekurangannya.

Nasya memandangi lukisan bergambar dirinya digendong oleh ibunya. Lihat ibu, ini cucumu sudah memiliki gelar Magister seperti Ibunya. Kelak ia akan jadi orang hebat yang bijaksana. Wahai ibu semoga Allah memberikan tempat terindah untukmu.

* * *