Rasa hormat diukur dari jabatan dan bukan pesan moral. Apakah kau tahu, jabatan menggelabui rasa hormat. Jika engkau mengundang para pejabat yang dihadiri oleh wali kota dan wakil walikota tentu yang lebih di hormati adalah wali kotanya terlebih dahulu. Tapi kenapa jika yang datang dewan perwakilan rayat, mereka juga harus dihormati. Padahal mereka itu wakil rakyat yang seharusnya dihormati adalah rakyat.
Rakyat semakin menderita, korban lapindo yang tak kunjung segera untuk diselesaikan. Hendak kemana tikus akan berlari, jika semua jalan kau kotori. Korupsi sudah menjadi kegiatan rutin yang harus dijalankan pada setiap programnya, hingga terlupakan program utama untuk mensejahterakan rakyatnya.
“Sya, mengapa kamu di situ,” Sita yang barusan pulang dari jam kerja lemburnya.
“Tidak ada apa-apa Mbak Sit.” Sita mendekati Nasya. Tampak rok mini dan baju seksi yang menutupinya menjadikan hidup penuh warna-warni.
“Gimana jualan Koran dan rumah bacanya.”
“Alhamdulillah Mbak, korannya makin laris dan rumah bacanya makin ramai.”
Ya sudah kalau gitu, Mbak Sita pulang dulu. Ia mengeluarkan satu lembar ratusan ribu untuk diberikan. Nasya menolak pemberian tersebut. Tapi Sita terus memaksa, ia berikan untuk pembelian buku untuk rumah baca. Dengan terpaksa Nasya menerima, sambil ia mengucapkan terima kasih.
Nasya tahu kalau tetangganya bekerja di club malam. Demi sesuap nasi ia berani mengadaikan kulit dan wajah yang begitu putih dan cantik. Semua karena kebutuhan, baik itu pencuri, perampok ataupun bahkan koruptor. Dengan alasan kebutuhan, yang jelasnya pasti kebutuhan ekonomi.
Hari makin larut, iapun menuju kamar ibunya yang sudah terbaring dan ikut tidur bersamanya. Karena ia tau akan tugasnya besok, sebab setiap penghasilan yang ia peroleh selain di tabung ia gunakan untuk memfasilitasi rumah baca. Ia berharap kelak, memiliki sekolah komunitas yang disana tidak terkekang dengan sistem dan aturan yang kaku.
“Koran…koran…koran, hanya Rp. 2.500 mendapatkan informasi yang beragam.”
“Korannya Dek,” pinta kenek sopir truk.
“Maaf Pak, ada uang kecil.”
“Ini Pak, uangnya. Di bawa aja korannya, tidak usah di bayar. Sebab saya lagi ngak punya uang kembalian”.
“Ya..udah kalau gitu, ini terima uangnya. Tidak perlu ada kembalian, buat kamu aja”.
Terima kasih pak, semoga lancar perjalannya. Secara mengejutkan, ketika hendak berjalan menuju trotoar Nasya terserempet mobil iring-iringan Gurbernur yang lagi lewat. Ia sebenarnya tahu akan suara sirene tersebut. Nasya terkapar, raut wajahnya yang putih kini berlumuran warna merah pekat.