Scroll untuk baca artikel
Terkini

Normalisasi Sungai Berlanjut, Ciliwung Institute Pertanyakan Logika Kementerian PUPR

Redaksi
×

Normalisasi Sungai Berlanjut, Ciliwung Institute Pertanyakan Logika Kementerian PUPR

Sebarkan artikel ini

Ciliwung Institute juga mengkritik solusi banjir, di mana wilayah selatan yang menjadi ruang penting bagi air justru kawasan hijaunya digusur pemerintah untuk proyek normalisasi tersebut.

BARISAN.CO – Program normalisasi sungai di Jakarta akan dilanjutkan tahun ini. Program ini dianggap sebagai upaya meminimalisir potensi banjir.

Namun, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) belum memastikan wilayah yang akan dinormalisasi, meski sudah ada pembebasan lahan karena masih proses inventarisasi. Hal itu disampaikan oleh Kepala BBWSCC, Bambang Heri Mulyono pada Oktober 2022.

Normalisasi sungai sendiri merupakan proses mempercepat aliran air ke laut yang dapat dilakukan melalui pembuatan tanggul dari beton di bantaran sungai. Beberapa pihak telah berulang kali mengkritik langkah pemerintah pusat tersebut, termasuk Ciliwung Institute.

Koordinator Ciliwung Institute, Sudirman Asun menyampaikan, yang menjadi persoalan dari betonisasi sungai dapat mempersempit ruang sungai, sehingga palung sungai akan mengakibatkan pendangkalan di hilir muara sungai.

“Ketika di pesisir utara sedang jadwal pasang laut, sempadan sungai di Selatan Jakarta sangat efektif untuk menahan air supaya tidak membebani hilayah hilir yang juga berhadapan dengan jadwal naiknya air laut. Di wilayah Utara, perumahan di Muara Karang hampir 3-4 meter di bawah permukaan laut, yang berarti sangat rentan menerima air dari dua arah, yakni hulu dan pasang air laut” kata Asun pada Rabu (25/1/2022) dalam Mimbar Virtual: “Penurunan Muka Tanah di Jakarta, Pindah Ibu Kota Bisakah Jadi Solusi?”.

Dia juga menyebut, hal itu jarang menjadi perbincangan riset akademisi. Sementara, Asun menambahkan, menjadikan sungai sebagai tempat drainase dan membuang air secepat-cepatnya ke laut merupakan pemikiran yang kuno.

Ciliwung Institute juga mengkritik solusi banjir, di mana wilayah selatan yang menjadi ruang penting bagi air justru kawasan hijaunya digusur pemerintah untuk proyek normalisasi tersebut.

“Sekitar 16 kilometer dari TB. Simatupang hingga Manggarai, sungainya sudah dibeton dan ini sangat berbahaya bagi permasalahan banjir di Jakarta. Wilayah yang seharusnya menjadi retensi air malah dihilangkan, jadi bukan hanya manusia yang digusur oleh normalisasi sungai, tapi juga ekosistemnya,” jelasnya.

Wilayah Condet yang memiliki perlindungan tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) di zaman Ali Sadikin, kata Asun malah dibangun tembok besar.

“Kawasan condet harusnya karena potensial untuk mengisi dan melintasi air di Jakarta. Penjelasan tentang sungai sendiri bahwa sungai itu terdiri dari palung dan sempadan, jadi ada palung yang memang terisi air, kemudian ada sempadan untuk ruang parkir air ketika air meluap, air sungai ini akan ke sempadan,” jelasnya.

Bahkan, dia memperingatkan, pembangunan yang lebih masif oleh pemerintah itu akan semakin mempersempit ruang sungai.

“Artinya logika Kementerian PUPR dipertanyakan ketika menggusur pemukiman kampung sungai dengan alasan didirikan di sempadan sungai yang mempersempit sungai, tapi malah melanggar sendiri ketentuan perlindungan sempadan sungai itu bahwa sungai yang fungsinya pasang surut itu dihilangkan. Rupa tembok besar setinggi hampir 2,5 meter dengan lebar 6-7 meter, saya analogikan ketika Cina dulu saking takutnya dengan serangan Mongol membangun Tembok Cina untuk membatasi serangan,” urainya.

Asun menerangkan, hal yang sama dengan Jakarta, mereka adalah suku air, yang tetiba begitu takut dengan air sungai ini, sehingga tidak boleh lagi membanjiri daratan.

“Hal ini akan membuat masalah baru banjir di Jakarta,” tegasnya.