Scroll untuk baca artikel
Blog

Nujood Ali, Kisah Duka Janda Belia

Redaksi
×

Nujood Ali, Kisah Duka Janda Belia

Sebarkan artikel ini

JIKA saja peristiwa Nabi Muhammad menikah dengan Aisyah dipahami dengan benar, mungkin tak bakal ada kasus Nujood Ali dan pernikahan perempuan di usia belia lainnya.

Bahwa Nabi Muhammad menikah dengan Aisyah ketika ia belum dewasa (akil baligh), itu memang betul. Namun, bahwa mereka berhubungan laiknya suami-istri setelah Aisyah mendapatkan siklus menstruasi pertama tak begitu dihiraukan banyak orang, termasuk oleh Faez Ali Thamer, suami Nujood Ali.

Nujood Ali merupakan seorang bocah perempuan berasal dari desa Khardji, sebuah desa terpencil di Yaman. Keluarganya terpaksa pindah ke kota Sanaa’ karena ada sebuah insiden memalukan yang membuat kehormatan keluarganya tercemar. Karena kepindahan itulah nasib keluarganya kian terpuruk dalam kemiskinan.

Bahkan, beberapa anggota keluarganya mesti mengemis di jalan-jalan untuk bisa menyambung hidup.

Dalam kondisi demikian, ada seorang lelaki berasal dari Khardji yang hendak meminang Nujood. Padahal, usianya lebih tua tiga kali lipat dari Nujood yang waktu itu berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun.

Dalam benak ayahnya, ketika Nujood menikah berarti berkurang pula jumlah mulut yang harus ia beri makan.

Namun, saat didesak bahwa usia putrinya itu belum layak untuk menikah, ia mencari pembenaran dalam ajaran agama. Dan, pembenaran itu adalah, “Ketika dinikahi Nabi Muhammad, Aisyah baru berumur sembilan tahun.”

Sebenarnya tindakan ayahnya ini merupakan pelanggaran hukum. Pemerintah Yaman telah menetapkan undang-undang tentang pernikahan yang di antara lain berisi bahwa perempuan boleh menikah/dinikahi bila sudah mencapai batas 15 tahun.

Namun, orangtua Nujood tak tahu-menahu tentang undang-undang itu. Soalnya, Nujood lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang rata-rata tak mengenyam bangku sekolah.

Bahkan, sekadar kartu tanda pengenal atau akta kelahiran pun mereka tak punya (satu hal yang membuat Nujood bingung menetapkan tanggal kelahiran dan usianya ketika ia ditanya berapa usianya ketika menikah).

Yaman merupakan salah satu negara yang penduduknya berpandangan bahwa lumrah belaka bila bocah perempuan menikah/dinikahi pada usia belia. Hal itu yang membuat ibu dan kakak perempuannya tak bisa berbuat banyak dengan keputusan sang ayah.

Maka, jadilah Nujood menikah dengan seorang lelaki yang tak ia kenal sebelumnya, dan tak pernah mengumbar senyum itu.

Nestapa Malam Pertama

Yang memprihatinkan, ibu mertua dan saudara iparnya mengucapkan selamat (mabruk) ketika mereka mendapati Nujood terlelap tak mengenakan sehai benang pun setelah malam pertamanya. Bahkan selain mengucapkan selamat, saudara iparnya tersenyum culas saat mengamati sedikit noda darah di atas seprai yang kusut.

Namun, berbeda dengan seorang istri ketika mengalami malam pertama yang begitu bahagia, Nujood menjalani malam pertamanya dengan getir.

Setelah perjalanan panjang dari Sanaa ke Khardji yang memakan waktu hampir seharian di atas mobil, dia terlelap. Tapi, tiba-tiba di malam hari dia terkejut. Saat itu pintu menyentak terbuka, ia mengira pasti angin malam telah berhembus dengan begitu kencang.

Namun, dia hampir tak bisa membuka mata ketika merasakan sesosok tubuh berbulu menekan tubuhnya. Ruangan gelap. Dari bau mulut dan gerakannya, Nujood mengenali sosok itu sebagai Faez Ali Thamer, lelaki yang telah menikahinya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, lelaki itu mulai menggosokkan tubuhnya ke tubuh Nujood yang masih bau kencur itu.

Tak terima dengan kondisi itu Nujood berusaha berontak dan melarikan diri, namun gagal. Setelah tertangkap dan membawanya lagi ke kamar, Faez menjatuhkan Nujood ke atas karpet. Ia terus berteriak memanggil ibu mertuanya untuk meminta bantuan, tapi percuma.