Namun, berbeda dengan seorang istri ketika mengalami malam pertama yang begitu bahagia, Nujood menjalani malam pertamanya dengan getir.
Setelah perjalanan panjang dari Sanaa ke Khardji yang memakan waktu hampir seharian di atas mobil, dia terlelap. Tapi, tiba-tiba di malam hari dia terkejut. Saat itu pintu menyentak terbuka, ia mengira pasti angin malam telah berhembus dengan begitu kencang.
Namun, dia hampir tak bisa membuka mata ketika merasakan sesosok tubuh berbulu menekan tubuhnya. Ruangan gelap. Dari bau mulut dan gerakannya, Nujood mengenali sosok itu sebagai Faez Ali Thamer, lelaki yang telah menikahinya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, lelaki itu mulai menggosokkan tubuhnya ke tubuh Nujood yang masih bau kencur itu.
Tak terima dengan kondisi itu Nujood berusaha berontak dan melarikan diri, namun gagal. Setelah tertangkap dan membawanya lagi ke kamar, Faez menjatuhkan Nujood ke atas karpet. Ia terus berteriak memanggil ibu mertuanya untuk meminta bantuan, tapi percuma.
Dan, malam itu merupakan malam celaka yang mengubah takdir Nujood dari seorang bocah perempuan menjadi seorang istri belia. Setelah malam itu Nujood tak bisa kembali ke dunianya lagi: dunia kanak-kanak yang dipenuhi permainan.
Bahkan, setelah malam itu ia mesti menyesuaikan diri dengan kehidupan baru: ia tidak berhak meninggalkan rumah, tidak berhak mengambil air dari sungai, tidak berhak mengeluh, dan tidak berhak berkata tidak.
Bukan hanya itu, saat malam tiba dia akan mengalami peristiwa yang selalu berulang: kebuasan yang sama, penderitaan yang sama. Pintu yang terbanting, lampu minyak yang terguling di lantai, seprai yang terpilin ke mana-mana, dan suara bentakan.
Di hari ketiga, suaminya mulai memukuli Nujood. Hal itu terjadi karena Nujood selalu berusaha menolaknya, dan mencegahnya agar tidak berbaring di karpet. Awalnya dengan tangan, lalu dengan tongkat. Sangat keras. Berulang kali.
Dan alih-alih membela Nujood, ibu mertuanya malah menghasut anaknya. Setiap kali suaminya mengeluh tentang Nujood kepada ibunya, ia akan berseru dengan suara parau, “Pukul dia lebih keras lagi. Dia harus mendengarkanmu. Toh, dia istrimu.”
Lengkaplah sudah penderitaan Nujood. Kehidupannya sarat dengan ketakutan permanen karena pukulan dan hantaman. Kadang-kadang suaminya tak segan untuk menggunakan tinjunya. Akibatnya, setiap hari muncul memar baru di punggungnya dan luka baru di tangannya.
Kabur? Mustahil, kecuali dia ingin mati karena kehausan. Jarak desa tempat ia tinggal bersama suaminya dengan rumah orangtuanya yang berada di kota Sanaa hampir sehari menggunakan mobil.