Scroll untuk baca artikel
Blog

Orang Kere vs Orang Tajir di KRL

Redaksi
×

Orang Kere vs Orang Tajir di KRL

Sebarkan artikel ini

SEMAKIN membingungkan saja kebijakan pemerintah ini. Masyarakat selama ini diajarkan sejak bangku sekolah dasar agar jangan membeda-bedakan orang berdasarkan statusnya, orang miskin dan orang kaya. Ditambah lagi oleh guru ngaji bahwa manusia itu di sisi Tuhan sama yang membedakan hanya takwanya.

Sementara pemerintah punya ajaran moral yang berbeda. Orang kaya dan miskin itu jelas berbeda dan yang membedakannya salah satunya adalah tarif kereta komuter.

Itulah jokes pekan ini menyusul viral di masyarakat menyikapi keputusan Kementerian Perhubungan yang membatalkan kenaikan tarik kereta komuter pada 2023. Skemanya diganti orang kaya yang harus membayar mahal (non subsidi).

Sekilas, di sini pemerintah seperti dewa penolong atau dewa penyelamat bagi masyarakat miskin. Atau Pemerintah berpihak pada masyarakat miskin. Ternyata, tidak sesederhana seperti itu. Konsekuensinya justru semakin tambah rumit.

Pertama, definisi orang mampu atau orang kaya tidak jelas. Apa ukuran orang mampu dan apa ukuran miskin.

Kedua, soal data. Dari sekira 800 ribu penumpang dan pernah sampai 1,2 juta penumpang per hari, berapa penumpang yang miskin dan berapa persen penumpang yang mampu.

Ketiga, data darimana yang akan digunakan. Apakah pakai data BPS, Kemensos, Pedulilindungi, atau Kemendagri. Bagaimana dengan sistem satu data? Ini juga masalah.

Keempat, sistem penggunaan kartu juga akan rumit dalam pelaksanaan. Terutama dalam pengawasannya. Bagaimana kalau orang punya dua jenis kartu nantinya.

Kini sudah saatnya Pemerintah mengubah paradigma bahwa subsidi itu bukan beban apalagi sebagai belas kasihan tetapi anggaplah sebagai pemicu produktivitas.

Subsidi dapat mengalihkan sebagian biaya transportasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok, pendidikan dan juga membeli makanan bergizi sehingga dapat menekan stunting.

Membebani penumpang mampu justru akan mengurangi penumpang kereta dan mereka kembali menggunakan sepeda motor atau mobil.

Dampaknya akan meluas. Selain akan menyebabkan kemacetan, meningkatkan konsumsi BBM juga akan berdampak pada target upaya menekan emisi karbon yang menjadi komitmen pemerintah kepada dunia hanya bualan belaka.

Justru, kini saatnya Pemerintah untuk menambah subsidi yang sudah tepat kepada semua angkutan massal tidak hanya kepada kereta komuter tetapi juga kepada Moda Raya Terpadu (MRT) dan TransJakarta serta angkutan massal lainnya di daerah.

Bahkan pelayanan pun justru harus diperluas misalnya menggratiskan ongkos kepada lansia, disabilitas dan anak sekolah atau mahasiswa.

Janganlah masyarakat itu diatur terlalu detail sehingga bikin rumit implementasinya di lapangan.

Apa nggak ada pekerjaan yang prestisius? Terlalu sepele kalau sampai negara ini hanya ngurus kartu miskin dan kartu kaya.

Apalagi sampai mengatur jualan rokok ketengan. [rif]