Oleh: Adib Achmadi
Pagi itu saya diundang untuk sebuah acara sarasehan budaya. Pesertanya kebanyakan dari kalangan budayawan. Pun dengan narasumbernya, sebagian dari kalangan budayawan dan sebagian lainya dari kalangan kesehatan.
Judulnya lumayan berat, ‘Membangun Pendidikan Karakter di Era Pandemi’. Latar belakangnya bisa diduga, keresahan yang besar ketika anak ‘putus’ dari sekolah untuk jangka lama. Keadaan ini menimbulkan kegelisahan tentang bagaimana asupan pendidikan pada para siswa kita, utamanya terkait pendidikan karakter.
Perbincangan dimulai dari narasumber bidang kesehatan yang menggambarkan potret pandemi di masyarakat. Data statistik bicara tentang angka pandemi yang makin menurun di satu pihak. Pada pihak lain, ada kegamangan untuk pemegang kebijakan membuka sekolah kembali normal. Ada kekhawatiran angka pandemi meningkat ketika siswa kembali masuk sekolah meskipun protokol kesehatan diberlakukan.
Sayangnya, dari arus perbincangan kurang muncul diskursus bagaimana upaya pendidikan, khususnya pendidikan karakter, tetap bisa berjalan ketika sekolah belum dibuka normal. Semua perbincangan dari berbagai sudut menjurus pada upaya pandemi segera berakhir dan siswa kembali sekolah.
Berbagai pihak memberi jawaban yang kurang lebih sama, baik itu dari kalangan pemerintahan, masyarakat (khususnya ibu-ibu) maupun dari pihak sekolah sendiri. Intinya, sekolah adalah solusi.
Terasa ada kegalauan sekaligus keletihan oleh berbagai pihak menghadapi pendidikan dalam keadaan pandemi. Saya sendiri tak punya solusi mujarab atas keadaan pandemi ini. Sudah terlalu kompleks permasalah pendidikan, bahkan sebelum pandemi ini terjadi. Fenomena pandemi menurut saya adalah kritik keras atas masalah pendidikan kita selama ini yang harus dibenahi dan ditata ulang.
Pada kesempatan itu saya sampaikan dua hal saja. Pertama, saat ini banyak pihak terlalu percaya bahwa pendidikan itu urusan sekolah. Kepercayaan sekaligus kepasrahan pada sekolah membuat tradisi mendidik anak-anak (generasi muda) tidak tumbuh dilingkungan keluarga, masyarakat maupun kalangan pemerintah.
Pihak keluarga sedini mungkin memasukan anaknya ke sekolah. Masyarakat juga kurang pengertian terhadap dinamika generasi muda di lingkungannya. Pun pemerintah juga kurang memberi ruang apresiasi dan aktualisasi pada anak-anak muda.
Ini menurut saya keadaan yang sudah terjadi untuk kurun waktu yang lama. Begitu elan mendidik pupus di keluarga, masyarakat dan pemerintahan, keadaan pandemi mengguncang banyak pihak.
‘Keterputusan’ siswa dari sekolah di semua level, membuat semua pihak tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Surutnya tradisi mendidik menimbulkan beban tak terkira bagi semua pihak. Dan sekolahpun tak bisa berbuat banyak atas kondisi ini.
Kedua, tanggung jawab pendidikan tak bisa diserahkan sepenuhnya pada sekolah. Semua pihak punya peran dan tanggung jawab terhadap pendidikan bagi generasi muda. Pemerintah tidak hanya mengurus lembaga pendidikan tapi juga mewadahi kegiatan di luar sekolah sehingga dinamika anak muda menjadi terarah.
Masyarakat juga perlu lebih perhahatian terhadap perilaku generasi muda dengan menghidupkan berbagai lembaga kepemudaan.
Dan pihak yang paling besar tanggung jawabnya terhadap pendidikan adalah keluarga. ‘Sekolah’ pertama dan yang utama adalah keluarga. Posisi ini sebenarnya tak tergantikan dan tidak bisa dialihkan pada pihak lain, termasuk sekolah. Wahana pendidikan di luar keluarga posisinya hanya membantu keterbatasan pendidikan dalam keluarga, tetapi tetap tugas utama mendidik ada di instusi pendidikan keluarga.